Sore menjadi semakin petang karena langit tidak kunjung menemukan sisa cahaya matahari sebelum tenggelam di ufuk barat. Hujan masih menyisakan rintikan gerimis yang membuat semilir angin pun terasa semakin dingin dengan kabut yang membuat Venus harus memfokuskan pandangannya, terlebih mata minusnya yang semakin bertambah.
"Hhh .... Tidak tahu lagi bagaimana besok aku menghadapinya."
Masih terbayang adegan yang cukup intens di ruang UKS tadi hingga rasa malu dan gelisah menyelimuti pikiran Venus. Jika saja menjadi tokoh utama dalam drama yang akan diselenggarakan sekolah bukanlah impian besar Venus, maka dia akan mundur daripada harus bertemu dengan Malvin setiap latihan.
"Kenapa aku jadi seperti ini?" Wajah Venus memerah, masih mengingat apa yang telah dilakukannya.
"Rasanya aku ingin pergi saja dari dunia ini."
Saat itu juga gemuruh di langit kembali terdengar. Lapisan awan itu membuat bumi semakin gelap. Venus memperhatikan sejenak, jika dia tidak segera, maka dia akan kehujanan sebelum sampai di rumah yang masih berjarak hampir 1 kilometer lagi.
Zrashhh!
Dan hujan lagi.
Berteduhkan tangan kecilnya yang menumpuk di atas kepala, Venus berlari ke tepian jalan, tepatnya di depan sebuah toko tua berdinding kayu dan atap yang dipenuhi tanaman rambat berwarna hijau serta bunga-bunga kecil berwarna merah. Venus baru menyadari ada tempat seperti itu di antara bangunan yang selalu Venus lewati saat berangkat atau pulang sekolah.
"Kenapa hujan lagi?" keluh Venus memeluk dirinya sendiri karena dingin. Pandangannya tidak tenang. Sesaat dia menatap jalan pulang yang sudah tertutup hujan, kemudian beralih pada teras bangunan yang dia baca namanya.
"Toko Buku Lorens? Sejak kapan ada tempat seperti ini?" Saat mengamati bagian depan toko, Venus dikejutkan dengan kemunculan sosok pria tua dari balik gorden di salah satu jendela kaca. Kedua mata Venus membesar. Arah matanya mengikuti bayangan pria itu yang berjalan ke arah pintu. Lalu pintu pun terbuka, menampilkan sosok pria berpakaian rapi dengan celana panjang, kemeja putih gading, dan topi baret yang menyembunyikan sebagian rambut hitamnya yang sudah beruban.
"Ah, halo Paman. Maaf saya terjebak hujan saat perjalanan pulang," jelas Venus sebelum paman itu mengucapkan satu kata pun.
"Hm." Hanya itu.
Sejenak Venus merasa gelisah saat paman pemilik toko diam dan memperhatikan dirinya dengan dahi berkerut. Namun kemudian paman itu mengangguk.
"Mari ikut saya ke dalam," tuturnya kemudian.
Senyum sumringah terlukis di wajah Venus setelah mengira paman itu akan mengusirnya, namun justru dia mengajak Venus masuk.
"Terima kasih, Paman."
Venus akhirnya mengekor di belakang paman pemilik toko buku memasuki bangunan tua itu. Kedua mata Venus berbinar melihat rentetan buku di rak-rak.
"Paman sejak kapan menjaga toko ini? Kenapa saya tidak sadar ada toko buku seunik ini?" Venus membuka percakapan. Jika sudah terlanjur ingin tahu, segala bentuk pertanyaan pasti akan keluar dari otak kecil gadis itu.
"Sudah sejak 15 tahun yang lalu," jawab paman pemilik toko ringkas.
"Wah, saya pasti akan sering datang jika tahu ada banyak sekali buku fiksi di sini."