Princess Venus: History of Lawrence

SAKHA ZENN
Chapter #5

Semakin Dekat

"Saya utusan dari Kerajaan Lawrence, berniat menyampaikan surat dari Raja Charles."

"Katakan!"

Mendengar nama Kerajaan Lawrence, Pangeran Arlo merasa tertarik untuk mendengar. Dia pun menegakkan punggungnya.

Utusan Kerajaan Lawrence itu membuka gulungan surat di hadapan Kaisar Phillip. "Dengan tanpa mengurangi hormat saya, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa mengikuti pertemuan besar kerajaan karena rasa duka yang masih terasa di Lawrence hingga saat ini. Untuk menghormati kematian Ratu Rose, Kerajaan Lawrence akan mengadakan hari nyepi, dalam artian tidak akan ada yang melakukan aktivitas di luar rumah. Saya mewakili Lawrence memohon pengertian Emperor Phillip. Dengan hormat, Raja Charles."

Apa pun yang berhubungan dengan Lawrence akan mengingatkan Pangeran Ian akan seorang nona yang ditemuinya beberapa hari lalu. Dia pun sadar bahwa nona itu adalah sahabat masa kecilnya yang dia sukai, Putri Venus. Dia sama sekali tidak keberatan jika Venus melupakan dirinya setelah peristiwa 13 tahun lalu. Dia bahkan mengirim surat pada Lady Roo untuk tidak memberi tahu siapa dirinya sampai saat di mana dia akan mengaku atau Venus akan mengetahui dengan sendirinya.

"Apakah dia baik-baik saja?" batin Pangeran Ian sedikit khawatir.

Sepanjang malam Pangeran Ian merenung di tepian balkonnya, menatap ke arah perbatasan Arlo dengan Lawrence. Besok adalah hari peringatan kematian Ratu Rose. Meskipun Venus adalah seorang gadis yang ceria, namun seingat Pangeran Ian, Venus sangatlah menempel ada ibunya. Bisa dibilang dia sangat manja dan ketergantungan pada ibunya.

"Besok pasti menjadi hari yang berat untuknya," tutur Pangeran Ian menghembuskan napas berat diikuti uap hangat yang menembus suhu dinginnya malam di Kerajaan Arlo.

Maka bukan hal yang aneh lagi jika Pangeran Ian diam-diam pergi ke Lawrence. Dia bahkan membuntuti Venus mulai dari dia keluar istana. Sejenak Pangeran Ian dibuat kagum saat Venus bahkan mengendarai kuda sendirian tanpa ada pengawal dan pelayan yang mengikuti.

"Sejak kapan dia bisa naik kuda?" batin Pangeran Ian heran. Dia rasa baru kemarin mendengar bahwa Venus akan belajar, namun pagi ini dia terlihat telah menguasai kuda miliknya, kuda berwarna kecoklatan yang tak kalah gagah dari kuda milik Pangeran Ian.

Takut terjadi sesuatu, akhirnya Pangeran Ian yang menjadi pengawalnya meski secara sembunyi-sembunyi, demi memastikan keselamatan Venus sampai ke villa.

"Apa yang dia lakukan?" Pangeran Ian mengernyitkan dahi, menajamkan matanya ke arah Venus yang tiba-tiba turun dari kudanya. Cukup ceroboh karena membiarkan kudanya bebas tanpa dia ikatkan tali ke pohon atau apa pun. Ya, karena dia tengah fokus pada satu hal. Dia berjongkok lalu mengambil sarang burung yang terjatuh. Pangeran Ian bisa melihat kepala bayi-bayi burung yang mengeluarkan cicitan itu hingga burung besar yang dia pikir adalah ibunya hinggap di atas bahu Venus. Senyum tipis melengkung di wajah Pangeran Ian. Dia masih memperhatikan Venus dan sama sekali tidak bisa berpaling darinya karena saat ini dia tengah berusaha memanjat pohon dengan susah payah sembari memegang erat sarang burung di tangan kirinya. Ingin sekali Pangeran Ian membantu, mengingat dirinya cukup mahir memanjat pohon. Namun dia pikir Venus tidak selemah itu. Dan benar saja, Venus menaruh srang burung kembali ke tempatnya lalu dirinya turun dari pohon.

Kedubrak!

Kurang hati-hati, Venus tidak berhasil mendarat dengan mulus. Tangannya yang menopang tubuh lecet dan menampilkan kemerahan di permukaannya. Pangeran Ian semakin cemas. Spontan dirinya maju beberapa langkah hingga terhenti saat Venus sudah kembali berdiri dan tersenyum ke arah sarang burung dan seolah tengah bercakap-cakap dengan induk burung. Dia sama sekali tidak mengeluhkan lukanya. Pangeran Ian akhirnya masih bisa bernapas lega. Dia melanjutkan pengawalannya saat Venus juga kembali menunggang kudanya menuju villa.

Pangeran Ian cukup menikmati apa yang dilakukannya sedari matahari masih condong di sebelah timur bumi. Dia hanya duduk diam di dahan pohon besar yang langsung menghadap villa. Sesekali kedua kakinya berayunan. Sesaat dia tiduran, lalu duduk kembali. Dia juga samar-samar mendengar suara piano yang mengalun dengan indah dari dalam villa.

"Ternyata dia sudah bisa memainkannya." Pangeran Ian tersenyum.

Hingga malam hari, sampai Pangeran Ian ketiduran dan bangun kembali. Dia menatap villa yang masih gelap sedangkan hari pun sudah berganti malam. Pangeran Ian dengan jelas melihat kuda yang tadi digunakan Venus masih terikat tali di depan villa.

"Apa terjadi sesuatu padanya?"

Dadanya bergemuruh seketika. Pangeran Ian pun kemudian melompat turun dan berlari lincah memasuki villa.

"Ah, maaf karena masuk tanpa izin."

Pangeran Ian merasa sedikit tidak leluasa karena melanggar aturan, namun situasi yang mendesak membuatnya melakukan hal itu. Dia mulai berjalan perlahan menyusuri setiap ruangan di dalam villa yang tersusun dua lantai.

Cetik!

Pangeran Ian menyalakan lampu di ruangan utama sehingga pintu-pintu ruangan terlihat. Villa itu masih terlihat mewah dan terjaga meski pemiliknya telah tiada.

"Venus?"

Pangeran Ian sudah tidak ragu lagi memanggil nama Venus secara terang-terangan. Yang diharapkannya adalah pemilik nama itu membalas panggilannya. Namun suara itu tidak kunjung terdengar. Dia sudah memasuki hampir semua ruangan yang tak terkunci.

"Venus?"

"Siapa?" Venus menjawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Lihat selengkapnya