Princess Venus: History of Lawrence

SAKHA ZENN
Chapter #10

Bangun dari Mimpi

Menjelang sore, Isabell masih berada di Istana Arvies, lebih tepatnya bersama Marvin yang kini mengajaknya ke area memanah.

"Kamu pernah memanah?" tanya Pangeran Marvin setelah perkelahian kecil beberapa saat lalu. Sekarang dirinya mengambil busur dan satu anak panah.

"Tidak."

Pangeran Marvin pun heran mendengar Isabell hanya menjawab dengan satu kata itu. Tapi memang sisi inilah yang Pangeran Marvin tahu sebagai teman Isabell. Hanya saja dia ingin sisi yang lebih lembut darinya karena saat ini dia tengah berkunjung ke istana.

"Baiklah. Biar aku perlihatkan dulu. Aku sudah berlatih sejak kecil. Aku bahkan lebih suka memanah dibanding bermain pedang." Pangeran Marvin mengambil posisinya, lalu busur dan panah dia tempatkan semestinya. Tatapan mata merah tajamnya bahkan seolah telah menghunus satu titik tengah yang menjadi incarannya sekarang. Isabell pun memperhatikan dengan baik.

Shoot!

Anak panah itu benar-benar sampai di tengah sasaran, menancap dengan kuat. Senyum bangga terlukis setelah menurunkan busurnya.

"Kamu mau mencobanya?"

Tanpa mengatakan apa pun, Isabell berjalan maju dan mengambil alih busur, sedangkan Pangeran Marvin mengambilkan satu anak panah untuknya. Terlihat gagap dengan posisinya, Pangeran Marvin perlahan membenarkan, mulai dari posisi berdiri, membenarkan tangannya saat memegang busur dan menempatkan anak panah agar tidak jatuh sebelum dilayangkan.

"Seperti ini. Tanganmu jangan terlalu tegang, tapi jangan terlalu lemah juga. Panah ini tidak boleh jatuh. Pusatkan perhatianmu pada objek." Pangeran Marvin bahkan tidak ragu memegang pundak, tangan, hingga dua pipi Isabell untuk membuat sikap yang sempurna sebelum meluncurkan anak panah. Sedangkan Isabell merasa desiran darah pada tubuhnya, membuat dadanya semakin gugup saja.

"Jika terlalu sulit fokus pada target, bayangkan saja itu Arthur."

"Tidak. Aku akan membayangkan dirimu. Aku tidak mungkin bisa berpikir untuk membunuh Arthur."

"Hei apa maksud—"

Shoot!

Pangeran Marvin terdiam seketika, tidak percaya dengan apa yang dilihat olehnya.

"Ternyata aku memiliki bakat di bidang ini," tutur Isabell menyombongkan diri. Bagaimana tidak? Anak panah yang diluncurkannya berhasil membelah dua panah milih Pangeran Marvin yang masih menancap di papan.

"Kamu pasti bohong dengan ucapanmu! Dari mana kamu belajar memanah?" Pangeran Marvin tidak terima karena kemampuan Isabell sebanding dengannya.

"Orang yang sudah terlahir hebat sepertiku tidak perlu berusaha terlalu keras untuk mencapai hasil yang memuaskan tahu!" Lagi. Hal itu membuat keduanya adu mulut.

"Dasar sombong!"

"Hhh .... Aku bahkan hanya membawa anak panah saat usiaku lima tahun. Anggap saja tadi keberuntungan."

"Tunggu. Untuk apa kamu membawa anak panah saat usia sekecil itu? Tidak ada yang melarangmu? Bukankah itu berbahaya? Apa kamu memang senakal itu saat kecil?"

Entah bagaimana percakapan ini beralih serius.

"Entahlah." Isabell terlihat berpikir. "Aku ... pernah menemukan anak panah di suatu tempat. Lalu aku memegangnya. Bahkan aku membawanya. Lalu ...."

Melihat garis wajah Isabell yang mulai berubah, Pangeran Marvin dengan sigap meraih tangannya, waspada bahwa Isabell tidak seharusnya memaksa memorinya yang terpendam kembali berputar tentang hal itu.

"Sudahlah. Siapa peduli masa lalumu? Sekarang kita ke taman saja," ajak Pangeran Marvin sepihak. Isabell yang tertarik pun hanya pasrah. Lalu satu kalimat lolos begitu saja.

"Di sini ada taman juga ternyata."

"Hei! Kami tidak seburuk itu sampai tidak mau merawat pepohonan, tanaman bunga, dan memasang meja kursi sekedar untuk bersantai kamu tahu! Kamu pikir kami apa?"

•••

"Venus, bangunlah. Kumohon."

Sebuah suara samar dan sentuhan hangat membuat Venus bangun dari kegelapan yang menggantinya dengan terangnya lampu yang menyala di atas sana. Yang membuat perasaan Venus lega adalah kehadiran Pangeran Ian di sisinya. Entah sudah dibawa ke mana saja dia tadi, yang terpenting sekarang dia sudah kembali pada alur yang seharusnya. Dia ingat dengan jelas bahwa dia tengah bermain panahan hingga akhirnya pingsan saat melihat sebuah pintu dengan cahaya aneh.

"Ian."

"Iya. Syukurlah kamu sudah sadar. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu," tuturnya terdengar sungguh-sungguh.

"Maaf, Ian. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku," balas Venus belum bisa menceritakan apa yang telah dia alami di dalam ketidaksadarannya sebelumnya. Mungkin Pangeran Ian pun tidak akan mudah percaya.

"Tidak apa-apa. Yang terpenting kamu sudah sadar sekarang. Apa ada yang sakit?" tanyanya.

Lihat selengkapnya