Princess Venus: History of Lawrence

SAKHA ZENN
Chapter #7

Asing

"Wah, ternyata hidup di tengah masyarakat kerajaan tidak seburuk itu," tutur Venus tidak mengendurkan sedikitpun senyumnya yang sedari tadi mengembang. Pagi ini sesuai janjinya, Pangeran Ian mengajak Venus untuk menyamar sebagai rakyat biasa. Tentu tidak sulit karena masyakarat Lawrence sendiri belum pernah melihat sosok gadis Putri Venus mereka setelah bangun dari tidurnya selama 13 tahun. Sedangkan Pangeran Ian sendiri merasa aman karena berada di wilayah kerajaan lain sehingga penyamarannya berhasil. Hanya saja pasang mata acap kali melihat ke arahnya karena menilai lelaki ini terlalu tampan untuk hanya sebatas rakyat biasa. Minimal seharusnya dia adalah putra dari salah satu pejabat kerajaan.

"Kamu membandingkannya dengan apa sampai menilai-nilai seperti itu Venus?" Pangeran Ian terkekeh. "Tapi memang sepertinya rakyatmu sangat sejahtera," lanjutnya tidak bisa menyangkal pemandangan di sekitarnya. Bahkan pakaian mereka bisa dinilai bagus. Mungkin strata mereka menengah ke atas. Pangeran Ian sampai ingin memuji pemerintahan Raja Charles yang membuat kerajaan termuda di kekaisaran ini lebih maju.

"Ian, lihat itu!" Venus menunjuk ke salah satu arah lalu berlari ke arahnya. Di tengah kota, di sisi barat air mancur berkerumun orang-orang. Susah payah Venus menerobos kerumunan itu, begitu pula Pangeran Ian yang tidak ingin kehilangan jejak Venus.

"Permainannya sangat bagus," puji Venus sampai di telinga seorang pria bersetelan jas yang baru menyelesaikan satu lagu dengan pianonya.

"Nona, apakah Anda bersedia memainkan piano?" tawarnya seolah tahu bahwa Venus cukup mahir memainkan note-note hitam putih itu.

"Apakah boleh?" Dua netra Venus berbinar diberi kesempatan seperti itu. Melihat pemandangan masyarakat yang menggambarkan cerita di dalam novel pun sudah membuat Venus tidak habis pikir, dan sekarang salah satu impiannya terwujud.

"Tentu."

"Ian," Venus berbalik menatap Pangeran Ian seolah meminta izin.

"Lakukanlah. Buat rakyatmu terkesan," bisiknya diikuti senyum tulus.

Mendapat dorongan seperti itu, Venus semakin bersemangat. Dia pun berjalan mendekat ke arah piano. Sorakan penonton dan tepukan tangan memberinya semangat.

"Ayo Venus! Lakukan saja seperti biasanya," lirihnya menghipnotis diri yang seketika merasa gugup setelah memposisikan dirinya duduk.

Entah bagaimana, tapi Venus tiba-tiba memikirkan lagu "Pshyco" untuk dia mainkan kali ini. Ketukan irama yang sangat berbeda dengan gaya kerajaan membuat semua orang terdiam seketika. Bukan karena permainan Venus yang buruk, tapi justru lebih terdengar baru dan membuat antusias penonton. Terlebih Venus menekankan bagian-bagian tertentu dalam lagunya.

"Wuhuuu!"

"Sangat bagus!"

"Tolong mainkan satu lagu lagi!"

Venus bangkit dari duduknya dan sedikit merasa bangga pada dirinya sendiri. "Setidaknya ada yang bisa aku banggakan sebagai putri kerajaan," tuturnya dalam hati yang tersimpan di balik senyumnya.

"Kita ke tempat lain?" Pangeran Ian melangkah mendekat ke arah Venus dan menyodorkan tangannya yang menghadap ke atas, menyambut tangan yang lain.

Venus pun meraih tangan itu. "Ayo!" Senyum tak absen dari wajah kecilnya.

Setelah memutari kota, Pangeran Ian membawa Venus ke sebuah toko roti yang membuat Venus takjub hanya dengan melihat penampilan depan toko.

"Bukankah ini toko roti? Kenapa terlihat sangat cantik?" tutur Venus heran sekaligus memuji. Toko itu berdinding kayu dan kaca yang transparan memperlihatkan deretan berbagai jenis roti yang tertata rapi. Sepoi angin menerbangkan kelopak bunga berwarna merah muda yang mirip dengan bunga sakura. Membuatnya semakin indah.

"Kamu lebih cantik." Pangeran Ian menatap Venus dari sudut pandangnya, lalu dia sibakkan surai panjang Venus yang sedikit berantakan karena angin.

"Apa?"

"Ayo kita ke dalam! Ini adalah toko roti favoritmu," ucap Pangeran Ian membuat Venus penasaran.

"Kapan aku mengatakannya?"

"Saat umur kita lima tahun."

"Kamu mengingatnya?"

Jangan heran dengan sosok Venus yang memang suka sekali bertanya, terlebih hal itu membuatnya penasaran sehingga harus mendapatkan jawaban saat itu juga. Sepanjang memasuki toko roti pun Venus menghujani Pangeran Ian dengan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja membuat lelaki itu justru merasa senang karena itu berarti dia ingin tahu segalanya tentang masa kecil mereka berdua yang sudah Venus lupakan.

"Oh, selamat datang Yang Mulia," sambut seorang wanita tua dengan nada tenang. Tentu tidak berharap para pengunjung mendengarnya karena dia sudah paham hanya dengan melihat pakaian sederhana yang dua orang di depannya itu pakai.

Lihat selengkapnya