Pesta yang semalam membuat semua orang mabuk akan kesenangan seolah tiba-tiba sirna, hanya rasa lelah yang masih tersisa. Ruangan masih gelap. Venus bangun dari tidurnya setengah terpaksa. Dia duduk sejenak, memastikan sekali lagi bahwa dia berada di tempat yang seharusnya, tempat yang dia inginkan.
"Tidak ada waktu untuk bermain-main, Venus. Kamu harus selalu ingat apa tujuanmu ke sini," tuturnya pada diri sendiri. Dia kembali mengedarkan pandangan. Kamarnya yang luas itu cukup berantakan. Benar, kemarin dirinya dan Irish yang ternyata masih betah merajut mimpinya itu belum sempat membersihkan kamar. Barang mereka pun belum sepenuhnya dikeluarkan dari koper.
"Irish. Bangun! Kita harus ke akademi sebentar lagi." Venus hanya mengucapkan kalimat itu dari tempatnya. Dia belum tahu bahwa satu kelebihan Irish adalah tidak mudah bangun saat tidur.
Ya, hari pertama para murid baru di akademi. Agenda hari ini, sesuai bocoran dari Arthur, pagi ini akan dimulai pertemuan seluruh murid baru Guardian sebelum dilanjutkan dengan pengenalan gedung dan masing-masing jurusan yang sudah diambil masing-masing pioneer. Venus tahu hari ini akan sangat melelahkan. Namun pertama, Venus harus menjadi pioneer yang baik dan tidak terlalu menonjol. Itu adalah rencananya. Dia hanya akan menjadi murid biasa. Tapi apakah bisa?
Matahari mulai meninggi, memancarkan sinarnya melalui celah-celah ventilasi bangunan, membuat cahaya alami ruangan. Derap kaki yang rapat membawa langkah para pioneer baru. Mereka mengenakan seragam baru dengan warna jas dan bawahan sesuai jurusan serta sepatu dan pantofel hitam seperti yang Venus dan Irish kenakan saat ini. Keduanya berseragam marun yang artinya mereka berada di jurusan seni. Empat kelompok tatanan kursi menyambut para pioneer setelah pintu setinggi hampir sepuluh meter itu terbuka. Kursi pun sedikit demi sedikit penuh. Banyak dari mereka takjub dengan desain auditorium yang mirip dengan gedung teater. Pioneer baru duduk di posisi tengah, menghadap tepat ke panggung dan mimbar. Sedangkan di sisi kanan dan kiri dibuat tiga lantai untuk diisi para guru dan murid-murid teladan Guardian yang diundang pada pertemuan pertama penyambutan pioneer baru.
"Apa itu yang dimaksud lima pilar Guardian? Benar kan, Venus? Kamu pernah membaca buku tentang Guardian?" tanya Irish setelah mereka mendapat kursi untuk duduk.
Jika yang dimaksud Irish adalah Buku "The Half of Guardian", Venus juga sudah membacanya dengan sangat teliti.
"Iya, benar. Dan satu-satunya yang masih hidup adalah Mr. Robert Hawthome," saut Venus menatap salah satu patung besar yang terpampang di atas panggung bagian belakang. Satu wajah yang sangat dia kenal ada di sana.
"Benar. Dan itu pula sisi gelap Guardian. Kamu tahu Venus? Tentang kejadian sekitar empat belas tahun yang lalu?"
Pertanyaan Irish membuat Venus mengernyit. Apa ada sesuatu yang Venus lewatkan? Bagaimana Irish tahu?
"Tidak. Apa yang terjadi?" Venus bertanya dengan pura-pura menjaga ketenangannya, sedangkan Irish sangat ekspresif. Dia terlihat sangat tertarik dengan Guardian dan segala kisah di baliknya.
"Ada rumor yang beredar bahwa Mr. Robert yang telah membunuh dua pilar Guardian. Setelah Pangeran Kalix keluar dari Guardian dan menjadi Raja Calmaria, dua pilar, Mr. Priel dan Mr. Tiago, si jenius dari Arlo tewas pada perjalanan bisnis ke luar kekaisaran, dan itu adalah rekayasa Mr. Robert agar orang-orang mengira bahwa mereka mendapat kecelakaan saat perjalanan kembali ke Calmaria. Lalu satu tahun setelah berita besar itu, pilar kelima, satu-satunya pendiri wanita Guardian dikabarkan menghilang dan—"
Tatapan Irish tiba-tiba berubah.
"Kamu juga sudah tahu tentangku rupanya," tebak Venus. Sekarang mungkin semua orang di Guardian telah menyadari kehadiran dan identitasnya karena semenjak memasuki auditorium banyak pasang mata mencuri-curi pandang padanya.
Irish tersenyum.
"Venus." Irish menggapai tangan kiri Venus. Tatapan netra bulatnya terkunci pada manik-manik warna cokelat keemasan yang sangat indah milik gadis itu.
"Aku sebenarnya ke sini karena mendengar bahwa kamu akan ke sini," aku Irish. Dahi Venus pun berkerut. Kenapa Irish mengetahui banyak sekali informasi?
"Bagaimana kamu tahu, Irish?" tanyanya.
"Sebenarnya aku adalah adik Kak Ian. Putri Arlo. Maaf baru memberitahumu sekarang."
Venus tidak bisa berkutik sama sekali. Sejak kapan Pangeran Ian memiliki adik? Setidak tahu itukah Venus meski tentang Pangeran Ian yang sudah menjadi teman baiknya itu?
"Ian?"
"Iya. Aku hanya ingin lebih mengenalmu, Venus. Tapi meski baru mengenalmu satu hari, aku tahu kenapa Kak Ian menyukaimu."
Irish menutup kalimatnya dengan senyum polos yang justru membuat wajah Venus memanas, tidak tahu karena apa. Itu pernyataan suka secara tidak langsung atau apa? Venus pun tak mengerti.
•••
Pertemuan pertama pioneer baru berlangsung lebih lama dari yang Venus kira. Belum lagi saat masing-masing jurusan digiring menuju gedung jurusan masing-masing. Gedung seni berada di paling ujung, berdampingan dengan gedung jurusan hukum. Meski sudah sempat berkeliling, ternyata banyak bagian detail yang belum Putri Isabell perkenalkan pada Venus. Setengah lelah, setengah ingin tahu. Di gedung seni yang tersusun dari lima lantai, terdapat ruang kelas umum, ruang kelas musik, ruang kelas melukis, ruang kelas desain, dan ruang-ruang kelas lainnya yang mencakup lima cabang seni yang bisa diambil pada tahun kedua, yakni seni rupa, seni musik, seni tari, seni drama, dan seni budaya. Selain itu terdapat perpustakaan jurusan, laboratorium, unit kesehatan, aula, museum penghargaan jurusan, dan kantin.
"Lihat! Di depan kalian adalah piano milik salah satu pilar Guardian, Mrs. Rose. Dulu, setiap usai pembelajaran akhir tahun, beliau mengadakan persembahan permainan pianonya yang sangat indah. Saya juga belum pernah mendengarnya, tapi musik itu hanya para pioneer terdahulu yang tahu. Notes yang beliau tulis juga tidak bisa dimengerti oleh ilmuwan musik mana pun, jadi jejak ciptaannya hanya ada dalam kenangan."
Sepanjang pioneer kelas tiga yang sedari tadi memimpin jalan para adik barunya itu berbicara mengenai tempat-tempat baru, Venus memusatkan perhatiannya pada alat musik yang lelaki itu maksud. Seolah Venus melihat sosok wanita yang dengan anggunnya menekan tuts-tuts piano. Bibirnya tersenyum, seolah tengah memainkan musik yang membuatnya bahagia.