Princess Venus: History of Lawrence

SAKHA ZENN
Chapter #16

SPELLS

Pagi hari ketika matahari baru menyembul dari sisi timur, saat Pixie telah membuka gorden dan jendela kaca agar kehangatannya masuk ke dalam ruangan, Charles bangun dari tidurnya. Dari atas ranjang luasnya dia menatap sang perempuan yang terlihat lebih cantik dari terakhir kali dia lihat beberapa waktu lalu. Perempuan itu tengah menikmati pagi pertamanya di villa yang Charles buat khusus untuknya. Dilihatnya rambatan pohon bunga mawar dari dalam ruangan. Beberapa mahkotanya muncul ke permukaan dengan warna merah darah yang begitu memikat.

Setelah melapisi tubuhnya dengan piyama tipis berbahan satin, perlahan Charles melangkahkan kakinya, menghampiri sang perempuan yang diam-diam menarik dirinya untuk mendekat. Rengkuhan dari belakang membungkus tubuh kecil Pixie. Dari beberapa waktu lalu, Charles menyadari satu hal bahwa dia juga menyukai rambut panjang Pixie yang sekarang terurai bebas. Aroma mawar tercium darinya, membuat candu.

"Bunga mawar memang sangat cocok denganmu, Pixie," bisik Charles di depan telinga Pixie, hanya berjarak tidak lebih dari satu senti, membuat pemiliknya merasa geli.

"Terima kasih sudah menanam bunga mawar yang sangat cantik ini. Aku sangat menyukainya," balas Pixie, menumpuk dua tangannya di atas lengan Charles yang melingkari pinggangnya.

"Aku memang sangat memahamimu."

Kalimat itu diam-diam mengetuk memori Pixie. Sebelum semuanya berjalan lebih jauh, dia telah memutuskan untuk mengaku siapa dirinya.

"Charles, dengarkan aku."

"Aku mendengarmu."

"Kamu masih ingat saat kita pertama kali bertemu? Di danau itu."

"Iya."

Pixie sempat menjeda kalimatnya.

"Aku ingin membuat sebuah pengakuan yang selama ini aku simpan rapat-rapat darimu."

"Iya, katakan saja Pixie. Aku akan mendengarnya."

Charles masih menikmati posisinya. Matanya terpejam, dagunya dia sandarkan pada bahu Pixie.

"Seperti dugaanmu, aku bukanlah manusia biasa."

Kalimat itu meluncur untuk membuka mata Charles. Dahinya berkerut. Hingga akhirnya pelukan itu lepas. Pixie memutar tubuhnya menghadap Charles. Meski terdengar sangat mustahil, namun entah kenapa Charles pun merasa harus mendengarkannya dengan lebih serius. Dan sesuatu terjadi. Perlahan Charles melihat dua sayap yang hampir transparan muncul di belakang tubuh Pixie karena dia mengizinkan Charles untuk melihatnya.

"Dulu aku sempat bertanya padamu, apakah kamu melihat sesuatu di belakangku. Karena kamu menjawab tidak, aku mulai berbohong. Aku adalah seorang peri. Duniaku ada di ruang lain. Malam itu aku dan teman-temanku datang untuk mandi di danau itu, sebelum kamu datang. Saat itu aku ingin sendiri, sebelum akhirnya kamu melihatku."

Wajah Charles sangat jelas menggambarkan bagaimana sulitnya untuk percaya. Dia bahkan menarik satu langkah dari Pixie. Apa yang dikatakan Pixie terlalu di luar nalar pikirnya.

"Dulu, sebelum kamu memenangkan tanah ini, kami dari dunia peri sering datang. Tanah ini sangat bagus. Banyak bunga bermekaran. Hamparan ilalang yang hijau."

Pikiran Charles sampai di mana mitos tentang tanah yang berpenghuni, bukan oleh manusia. Dan jika dicocokkan memang akan terkesan benar adanya.

"Charles, mungkin memang sulit untukmu mempercayaiku. Tapi satu hal yang pasti, aku sungguh mencintaimu. Tidak ada alasan lain untukku bertahan sejauh ini. Aku hanya ingin selalu bersamamu."

Air mata menetes dari pelupuk mata Pixie. Dia tidak bergerak sama sekali. Kakinya mengakar. Dia pikir dia tidak berhak lagi untuk memaksa Charles jika memang dia tidak bisa menerima perbedaan yang ada.

"Charles."

Pixie menunduk, membiarkan air matanya berjatuhan ke lantai. Saat ini tubuh kecilnya diliputi rasa bersalah dan takut akan kehilangan. Inilah salah satu alasan kenapa dia selalu menyimpan rapat rahasianya.

"Apa kamu tidak mempercayaiku sebesar aku mempercayai dirimu, Pixie?"

Charles mendorong kembali langkahnya untuk lebih dekat dengan gadis yang tengah menangis itu.

"Tidak ada bedanya kamu mengakui hal ini dulu atau sekarang, karena keputusanku tetap sama."

Di posisinya, Pixie masih mengolah kalimat yang Charles lontarkan.

"Pixie, lihat aku!"

Charles mengangkat dagu Pixie untuk mengembalikan dua netra yang kini mengkristal itu. Dalam kepalanya yang sempit, Charles memang masih mengelola apa yang selama ini terjadi. Apa yang selalu Charles temukan dari Pixie dan terasa berbeda dari manusia biasa. Charles memahaminya dengan perlahan, sembari mengunci kristal itu sebelum jatuh dalam bentuk air mata yang mengalir di dua sisi pipinya. Dari situ, pandangan Charles jatuh pada beberapa titik kemerahan di leher perempuan itu. Dan dia sadar itulah jawabannya.

Lihat selengkapnya