Princess Venus: History of Lawrence

SAKHA ZENN
Chapter #21

Twilight Room

"Apa kamu sedang mencari orang yang sempurna, Venus?"

Percakapan masih berlanjut setelah Venus bertanya apakah Pangeran Ian adalah sosok yang sempurna. Venus sendiri merasa heran, kenapa dia tidak bisa menahan pertanyaan itu untuk menjaga harga dirinya? Venus tidak ingin berpikir bahwa seorang gadis yang begitu lelaki itu percaya pada sedari kecil seolah tengah menyeleksi orang dengan mencari kekurangan dan kesempurnaan orang-orang. Venus gugup. Permukaan cokelat panas di dalam cangkir yang menggantung di udara mulai bergelombang karena kegelisahan itu.

"Bukan begitu. Hanya saja William mengatakan padaku demikian," balas Venus polos. Dia tidak tahu bahwa setiap hari Pangeran Ian memikirkan rasa tidak sukanya pada Venus yang terlalu dekat dengan William, meski William adalah teman baiknya sendiri.

"William menilaiku sempurna?" Pangeran Ian tersenyum tipis seolah menang. Dia bahkan sudah mendapat pengakuan dari "lawan"-nya. Itu adalah awal yang bagus, pikir Pangeran Ian.

Tanpa menunggu jawaban Venus, Pangeran Ian kembali berkata. "Kamu bisa memegang ucapannya, Venus. Dia orang yang cukup jujur dan objektif."

Pangeran Ian tidak melepas pandangannya sedikit pun dari Venus. Seolah matanya tengah berbicara, "Ya, akulah orang yang sempurna untukmu, Venus."

"Benarkah?" Venus seolah ragu. Dia kemudian memikirkan saran William tentang meminta bantuan pada Pangeran Ian. Tapi apakah tidak apa-apa?

Pangeran Ian kemudian menurunkan cangkir yang sedari tadi mengambang. Posisinya mulai miring karena Venus kehilangan fokusnya. Dia mengerti bahwa gadis di depannya itu memiliki banyak sekali tujuan yang ingin dia jelajahi namun tidak memiliki peta sebagai petunjuk yang jelas. Jemari Venus sedingin es karena suhu tubuh Pangeran Ian lebih hangat. Sejenak ada sebuah harapan yang muncul. Harapan bahwa dirinya akan terus membersamai setiap langkah Venus di masa depan agar gadis itu tidak terlalu kesepian dan berjuang sendirian.

"Apa akhirnya aku boleh mencampuri masalah yang kamu miliki, Venus?" Seolah telah memahami kesulitan yang tengah Venus alami, Pangeran Ian lebih dulu mengetuk pintu. "Aku bisa membantumu semaksimal mungkin. Kamu bisa percaya pada perkataan William dengan mempercayaiku. Aku bisa benar-benar menjadi sosok yang sempurna untukmu."

Venus terdiam. Di depannya saat ini adalah Pangeran Ian, pangeran mahkota Kekaisaran Arlo. Dia pasti bukan sembarang pemuda. Lebih dari seorang pangeran, Venus seolah menerima bisikan bahwa dia akhirnya bisa sedikit bersandar pada seseorang.

"Tidak perlu menjadi sempurna, Ian. Jangan menjadi pahlawan untukku. Aku hanya membutuhkanmu yang bisa berjalan bersamaku."

Venus bisa menilai ketulusan Pangeran Ian padanya. Setelah berjuang keras, tidak ada salahnya mempercayai seseorang untuk menjadikannya teman yang bisa memberi dukungan. Sorot mata tegas namun penuh kelembutan itu seolah berhasil menghipnotis Venus dan menyadarkannya bahwa dia memang butuh sosok Pangeran Ian. Sosok pemuda yang langsung mengenali dirinya setelah 13 tahun tidak bertemu.

"Aku akan mengatakan satu hal, Venus. Kamu bisa mengandalkanku."

•••

Sesuai janji, keesokan harinya setelah semua kelas berakhir, Venus yang tengah membereskan barang-barangnya tiba-tiba mendapat bisikan dari Irish.

"Tolong katakan pada Kakakku, Venus. Bisakah dia sedikit menjaga wibawanya sebagai seorang putra mahkota?"

Kalimat itu terdengar ambigu. Ada apa dengan Pangeran Ian? Lalu begitu Venus mengalihkan pandangannya ke arah pintu kelas yang terbuka lebar, dia tidak bisa berkata-kata. Di tengah mulut pintu itu, Pangeran Ian bersandar dengan santai dengan tatapan lurus pada Venus. Begitu Venus menemukannya, senyuman yang begitu cerah menarik perhatian. Bukan hanya dirinya. Ingat, Pangeran Ian adalah salah satu Top Pioneer Guardian yang Venus yakin, lebih dari 90% teman kelasnya mengidolakannya. Lebih dari prestasi akademiknya, postur tubuh, fitur wajah, dan keramahannya adalah faktor pendukung yang lain. Entah kenapa Venus merasa sedikit terganggu setelah memikirkan hal itu.

"Bukankah dia ingin menemuimu, Irish?" bisik Venus sengaja memperlambat kegiatan beres-beresnya.

Irish pun segera protes. "Venus, kamu tidak melihat tatapan matanya yang terkunci padamu? Apa aku harus merasa iri? Dia bahkan tidak pernah begitu senang saat bertemu denganku. Aku tidak akan terkejut jika dia mengambil sahabatku kali ini dan menelantarkanku."

Tatapan mata Irish yang begitu tajam dengan wajahnya yang masih menggemaskan membuat Venus sedikit terhibur. Mungkin begitulah hubungan kakak beradik ini. Tidak begitu dekat dengan istilah romantis antara satu sama lain. Atau mungkin itu bahasa cinta keduanya.

"Aku akan pergi ke perpustakaan, Venus. Mungkin aku akan pulang terlambat," pamit Irish kemudian dan Venus mengiyakan.

Setelah Irish pergi dan kelas mulai sepi, Pangeran Ian melangkah masuk. Kakinya menapaki ruang seni yang mungkin tidak pernah dia masuki sebelumnya. Dia melihat papan tulis, lalu beberapa pajangan dinding, dan berakhir pada kanvas yang tertutup kain putih polos. Kanvas itu masih berdiri dengan kemiringan tertentu di atas easel. Hari ini adalah kelas melukis. Seluruh pioneer memiliki tugas untuk melukis di kanvas berukuran dua kali satu meter. Pangeran Ian berdiri di belakang Venus yang masih duduk di kursinya.

"Aku ingin melihat lukisanmu," pinta Pangeran Ian, sedangkan Venus sedari tadi mengikuti setiap pergerakannya. "Boleh?"

Lihat selengkapnya