Venus mulai berjalan menuju piano di tengah ruangan. Malam semakin gelap, bersamaan dengan ruangan yang mulai diterangi cahaya temaram di setiap sisi dinding. Tepat di bawah lampu kristal yang terlihat berat, Venus duduk tenang. Dia menyingkap fallboard dan membuka kembali lembaran partitur yang berisi rangkaian notasi tulisan tangan ibunya, Ratu Rose. Pangeran Ian berdiri di sisi piano, melihat setiap gerak gerik Venus yang begitu anggun, sedikit berbeda dari saat pertama kali mereka bertemu setelah 13 tahun. Dari matanya, gadis berambut pirang sedikit kecokelatan itu selalu menarik perhatian. Meski manik matanya adalah bagian yang paling dia sukai, jembatan hidung yang kurus, pipi yang ternyata tidak setirus kelihatannya, bibir tipis berwarna berry, dan rahang yang tidak begitu tegas, turun hingga dagu kecilnya adalah bagian lain yang tak bisa lolos dari perhatian Pangeran Ian.
Saat jemari Venus memulai lagu dengan satu ketukan tuts lalu dilanjut dengan tuts yang lain, Pangeran Ian mulai mematung. Dia pernah mendengarnya. Dulu. Ratu Rose pernah memainkan lagu yang sama saat Pangeran Ian dan Venus mengunjungi villa. Dan sebuah keajaiban terjadi saat itu. Saat matahari hampir tenggelam sepenuhnya, langit mulai memancarkan cahaya orange yang lebih kuat. Kupu-kupu beterbangan, meninggalkan persembunyiannya. Semerbak aroma mawar memenuhi ruangan, menebar serbuk kehangatan yang tidak bisa bulan berikan. Memori itu kembali bukan bersama sosoknya, namun sebuah lagu yang diciptakan olehnya. Pangeran Ian merasakan kehadiran sosok yang lain, meski adanya Venus lebih mendominasi.
"Hanya kamu yang bisa membaca notasi ini kan, Venus?" tanya Pangeran Ian setelah permainan musik selesai. Dia berdiri di sisi Venus, memerhatikan lembaran terakhir. Di sudutnya tertulis, "Not everything that is hidden cannot be seen." Tidak semua yang tersembunyi tidak bisa dilihat.
"Iya. Ibuku yang membuat notasi ini."
Venus mengambil lembaran partitur yang terlihat mulai usang.
"Apa itu berarti Ratu Rose yang menciptakannya sendiri?"
Pertanyaan yang terdengar sederhana itu mengeluarkan berbagai persepsi sekarang. Baik Venus maupun Pangeran Ian terdiam.
"Kamu tahu, Venus, tidak semua yang terlihat baru oleh kita pada hakikatnya memang baru," tutur Pangeran Ian perlahan membuka pikiran Venus.
"Maksudmu, bentuk notasi ini sudah ada sebelumnya?" Venus bertanya, meminta dukungan Pangeran Ian untuk menyetujui pemikirannya. Dan ya, Pangeran Ian membenarkan.
"Benar. Kita belum bisa memastikan, Venus. Aku sudah mempelajari notasi ini saat tahun pertamaku di Guardian. Sejarah menyatakan bahwa notasi ini memang baru, pertama kali ada, hanya ada satu-satunya. Tapi jika kita melihat dari segala kemungkinan, notasi ini bisa berasal dari kehidupan lain. Entah kehidupan masa lalu atau kehidupan yang berseberangan dengan dunia kita."
Mendengar luasnya jangkauan pemikiran Pangeran Ian, Venus menatap lurus ke atas, melihat wajah santai Pangeran Ian yang seolah menyembunyikan hal yang lebih besar.
"Ian, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Atau kamu sudah tahu apa yang sedang aku cari saat ini, dan kamu sudah mendapat jawaban yang masih menjadi teka-teki untukku?"
Pangeran Ian menurunkan tubuhnya, duduk bersimpuh dengan satu lutut. Kini tinggi mereka hampir sejajar. Pangeran Ian menatap dalam netra gadis kecil yang selalu menjadi objek kerinduannya. Tatapan itu masih sama, meski dengan segala kebutaan yang seharusnya bisa melihat luasnya dunia saat ini.
"Selama kamu tidur, dan Ratu Rose menghilang, aku tidak percaya bahwa dia sudah tiada, Venus. Berita itu hanya tersampaikan lewat surat di Istana Arlo. Aku sudah mengenal ibumu cukup lama. Ratu Rose ... memiliki banyak sekali rahasia. Karena itu, aku menjadi salah satu orang yang menganggapnya masih ada."
Venus mulai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ada sosok yang menyadari kehadiran itu. Kehadiran yang samar Venus sering rasakan. Kehadiran yang ada dalam ketiadaan.
"Venus, aku ingin bertanya satu hal padamu, tapi bisakah kamu menjawabnya dengan jujur?"
Venus terdiam. Dibanding bimbang, diamnya adalah jawaban iya, sampai dia mempertegasnya dengan sebuah anggukan.
"Apa selama 13 tahun terakhir kamu benar-benar tertidur?"
William benar. Anggapannya bahwa Pangeran Ian lebih dari Arthur atau bahkan dirinya adalah sebuah kebenaran. Meski terdengar mustahil, Pangeran Ian membuka ruang lain yang mungkin tidak akan bisa dilihat olehnya.
"Aku hidup di dunia lain, Ian. Sebuah dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia ini," jawab Venus tanpa berpikir panjang. Di keheningan, Venus mulai mengenalkan dunia yang menjadi saksi 13 tahun hidupnya.
"Di dunia itu tidak ada raja dan ratu. Istana hanya menjadi sebuah bangunan bersejarah karena bentuk pemerintahan beberapa dekade sebelumnya. Di dunia itu aku hanya dirawat oleh paman dan bibi. Aku hanya seorang siswi di sebuah sekolah biasa. Aku tidak bisa berbohong tentang rasa sukaku pada musik. Di dunia itu pun aku sering bermain piano. Lalu aku juga suka membaca novel yang menceritakan segala romantisme kehidupan bertema kerajaan. Karena itu, saat aku terbangun, dunia ini sangatlah tidak nyata untukku. Aku kehilangan ingatan tentang masa laluku. Tapi yang jelas, suatu hari, bibi memberitahu bahwa dunia inilah tempat di mana aku seharusnya hidup."
Keheningan semakin mempersempit ruangan setelah Venus bercerita tentang dunianya yang lain.
"Kamu pasti tidak akan percaya padaku, Ian."
"Aku percaya."
Venus terdiam. Di pangkuannya masih tersusun lembaran-lembaran partitur yang menyimpan banyak pertanyaan baru. Namun setidaknya mereka sudah memiliki pertanyaan untuk memulai.