"Aku bermimpi, Ian. Mimpi yang aneh dan menakutkan. Jika mimpi itu adalah petunjuk, apa benar ...."
Apa benar Madam Roo memiliki niat jahat padaku?
"Kamu tahu kenapa aku sangat sulit mempercayai orang lain, Ian? Karena di mataku semuanya masih abu-abu. Aku tidak bisa membedakan hitam dan putih."
Wajah Venus terlihat muram. Meski cakrawala mulai membuka hari dengan bias cahaya yang sedikit memberi warna pada langit setelah gelap, Venus belum bisa melupakan mimpi yang terasa begitu nyata baginya. Jika mimpinya tidak berarti apa-apa, kenyataan bahwa dia telah melihat Mr. Hawthome di dalam mimpi sebelum kedatangannya ke Guardian akan menjadi sesuatu yang sangat ganjil. Dan begitu mimpi aneh itu menjawab sebagian kebenarannya, hal yang terjadi selanjutnya adalah Venus benar-benar mendapatkan kepingan-kepingan petunjuk mengenai Ratu Rose. Mimpi kali ini pun seolah menjawab kebingungan yang tengah Venus rasakan. Tentang pertemuan pertama Venus dengan ibunya yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di lukisan atau foto, tentang bulan purnama, tentang danau, dan pertanyaan baru terkait Madam Roo. Pikiran Venus bisa saja meledak jika tidak ada Pangeran Ian, sosok pria muda yang sudah menanggung banyak hal yang tidak mudah untuk diterimanya sebagai manusia biasa, berbeda dengan Venus yang memiliki plot sejak awal di toko buku tua di tengah kota itu.
"Venus."
Pangeran Ian meraih tangan Venus satu persatu, membuat mereka berhadapan di persaksian matahari yang mulai muncul mengikuti cahayanya di wilayah timur.
"Kamu berhak melihat warna yang lebih banyak dan lebih indah dari sekadar hitam dan putih."
Venus terdiam. Kalimat itu terdengar lebih hangat dari langit yang mulai menemukan warnanya.
Pangeran Ian mengeratkan genggaman tangannya, sinyal untuk menarik perhatian Venus sepenuhnya sebelum bertanya, "Apa aku masih terlihat abu-abu juga di matamu, Venus?"
"Ian. Aku ...."
"Aku akan memberimu dua warna, Venus. Putih dan hitam. Iya ... atau tidak?"
Venus menatap dalam manik-manik Pangeran Ian. Dia tidak pernah sedekat ini dengannya. Dan entah kenapa, tatapan Pangeran Ian seolah berbicara: dia bukan ingin menuntutnya untuk menjawab iya, tetapi memberi ruang untuk Venus membuat keputusan tentang hitam dan putih yang baru saja dia bicarakan.
"Kamu lebih dari semua warna itu, Ian. Lebih dari warna yang tidak terhitung banyaknya ... dan sangat indah."
Pangeran Ian mengunci pergerakan Venus, lalu mendorong sedikit tubuh atasnya. Dia mencium kelopak mata Venus yang spontan menutup. Cukup lama untuk membuat jantung Venus berdetak lebih cepat. Tubuh Venus menegang. Jemarinya spontan mengeratkan genggaman tangan Pangeran Ian padanya.
Saat dadanya masih naik turun lebih keras, dia membuka mata. Pandangannya bermula blur, lalu perlahan kembali menemukan Pangeran Ian yang masih berdiri di depannya.
"Lihat! Sekarang kamu sudah mengenal banyak warna, Venus. Bahkan kamu menemukan warna baru pada diriku." Pangeran Ian menumpuk kedua tangan Venus, memberi kehangatan di bawah telapak tangannya sebelum melanjutkan, "Abu-abu juga salah satu warna, Venus. Tapi jangan sampai kamu terlalu buta untuk melihat warna lain di sekitarmu. Tidak perlu terganggu dan fokus mencari hitam atau putih. Karena manusia tidak bisa digolongkan hanya dengan dua warna itu. Seperti diriku."
Venus mengangguk, perlahan mengerti. Semuanya hanya tentang penilaian yang bisa berbeda tergantung pada sudut pandang. Dan dari sudut pandangnya, Venus benar-benar telah menemukan seseorang yang bisa berjalan dengannya. Pangeran Ian. Pria yang entah bagaimana selalu ada sejak pertama kali dirinya sadar, selalu menceritakan fakta yang menurut Venus adalah hal baru, dan sosok pria yang tidak menuntut balasan karena dia terlalu tulus bahkan sebelum Venus memutuskan untuk memulai.
"Tapi Ian, bagaimana kamu tahu aku ada di balkon?"
Pangeran Ian terlihat gugup. Sadar atau tidak dia melepaskan genggaman tangannya, dan menghindari tatapan Venus. Memilih matahari pagi sebelum menjawab pertanyaan Venus.
"Aku .... Aku ...."
Pangeran Ian menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Pandangannya tidak tenang. Dan ini adalah hal yang baru bagi Venus, karena pria itu selalu terlihat tenang dan bisa mengendalikan diri dengan baik sebelumnya.
"Aku sedang berjaga malam. Iya. Jaga malam."
Dahi Venus berkerut. "Ada hal seperti itu juga? Bukankah sudah ada penjaga asrama? Untuk apa kamu ... seorang pangeran Kekaisaran Arlo melakukan hal itu?"