Pagi itu, SMA Nirwana seperti biasa menggelar upacara bendera di lapangan utama. Sinar matahari menyapu halaman luas dengan deretan pohon mahoni yang menjulang di sepanjang pagar sekolah. Udara masih segar, diselingi suara burung gereja dari balik atap gedung sekolah bertingkat tiga. Barisan siswa-siswi tampak rapi. Seragam putih abu-abu yang mereka kenakan disetrika licin, dasi terikat sempurna, dan sepatu hitam mengilap. Barisan kelas dua belas berada paling depan, diikuti oleh kelas sebelas dan sepuluh. Semua berdiri diam, menatap lurus ke arah podium upacara.
Di atas podium berdiri seorang pria berperawakan tinggi, mengenakan seragam dinas kepala sekolah berwarna krem. Lencana SMA Nirwana tersemat di dada kirinya. Wajahnya tenang, dengan senyum yang sekilas terlihat ramah, tapi sorot matanya tajam dan menyapu satu per satu wajah siswa kelas dua belas.
Dialah Pak Danu Prihatmoko, kepala sekolah SMA Nirwana yang dikenal karismatik dan disiplin.
"Anak-anak sekalian," suaranya menggema melalui pengeras suara, "kita hidup di era persaingan global yang tidak mengenal ampun. Dunia luar sana tidak akan menunggu kalian siap. Dunia menuntut keunggulan. Karena itu, kalian harus menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga unggul secara karakter."
Ia beranjak sedikit ke depan, suaranya meninggi namun tetap tenang.
"Integritas. Disiplin. Etos kerja. Itu tiga kunci utama. Di SMA Nirwana, kita membentuk karakter pemimpin masa depan. Kita tidak bermain-main dalam mendidik generasi bangsa."
Pak Danu berhenti sejenak. Tangannya menyapu udara.
"Khusus untuk siswa kelas dua belas, pekan ini akan dimulai program seleksi khusus untuk bimbingan internasional. Ini adalah kesempatan langka. Hanya mereka yang benar-benar layak yang akan kami pilih. Dan bagi mereka yang lolos, masa depan kalian akan terbentang di luar batas negeri ini."
Ia memandang lekat barisan paling depan.
"Namun ingat. Tidak semua mampu bertahan di jalur ini. Hanya mereka yang benar-benar kuat yang akan bisa terus melangkah. Maka tunjukkan bahwa kalian pantas. Sekolah ini akan menjadi saksi."
Beberapa siswa tampak membusungkan dada. Yang lain melirik ke teman sebaya, bertanya-tanya siapa yang akan dipilih tahun ini.
Di antara barisan kelas sebelas, Hanum Anantari berdiri dengan ekspresi dingin. Ia mendengar semua kalimat Pak Danu tanpa berkedip, tapi pikirannya sibuk menyusun ulang petunjuk-petunjuk kecil yang selama ini hanya menjadi potongan tak jelas.
Selesai upacara, langkah kaki ratusan siswa memenuhi lorong sekolah, seperti sungai yang mengalir ke arah masing-masing kelas. Aroma sepatu baru, cat tembok yang baru dikeringkan liburan kemarin, dan udara pagi yang belum tercampur bau kantin menyatu jadi suasana khas hari pertama sekolah.
Hanum berjalan pelan menyusuri koridor lantai dua. Semalam, sekitar pukul sebelas malam, ia menerima email dari sistem administrasi SMA Nirwana. Subjeknya singkat—Penempatan Kelas Semester Baru. Ketika dibuka, hanya ada satu kalimat:
“Selamat, Anda termasuk siswa terpilih untuk kelas unggulan 12-A.”
Hanum mendesah pendek saat mengingatnya. Bukan karena ia bangga—ia tahu, sejak awal, SMA Nirwana bukanlah sekolah biasa. Dan kelas 12-A bukan sekadar kumpulan siswa pintar, tapi ladang ambisi. Ia bisa membayangkan betapa intens atmosfernya. Puluhan pasang mata, semua berebut jadi yang paling bersinar. Tak ada tempat bagi yang santai atau ragu-ragu.
Ia berhenti di depan pintu berlabel: 12-A. Pintunya masih tertutup. Beberapa siswa berkumpul di luar, sibuk memperkenalkan diri, berbasa-basi, atau sekadar berdiri sambil melihat-lihat.
Satu per satu wajah terlihat familiar. Bukan karena pernah dekat, tapi karena mereka sama-sama muncul di daftar nilai tertinggi sekolah sejak tahun lalu.
Hanum mengenali sosok berambut keriting rapi yang sedang duduk di pagar tembok—itu Tito Maheswara. Skor Matematika dan Fisika-nya nyaris selalu tak terkejar. Kabar burung mengatakan dia merakit drone sendiri di rumah, dan bisa membobol Wi-Fi sekolah sejak kelas sepuluh.
Tidak jauh dari situ, Nadine Keithara sedang berbicara sopan dengan temannya Sikapnya lembut dan tampak terlatih, seperti anak duta besar yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang penting. Nama Nadine sering muncul di buletin sekolah, bukan hanya karena ranking, tapi karena tulisannya yang pernah dimuat di media nasional.
Elang Lavendra berdiri menyandar ke dinding dengan hoodie hitam. Topinya sedikit menutup mata. Ia tidak berbicara pada siapa pun. Namanya mencuat sejak kelas sepuluh karena hasil seleksi IQ internal sekolah yang katanya nyaris menyamai skor tertinggi sepanjang sejarah SMA Nirwana.
Dan di ujung koridor, Helmi Nathaniel berdiri dengan buku di tangan. Ia membaca sambil berjalan pelan, seperti tidak peduli sekitarnya. Tapi Hanum tahu, dia bukan tipe pemalu. Dia hanya mengamati.
Mereka berlima belum pernah berbicara lebih dari salam singkat atau sekadar anggukan saat berpapasan. Tapi kini, mereka akan duduk di ruangan yang sama, setiap hari, selama satu tahun penuh.
Bel masuk berbunyi.