Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #3

Stage-1

Siang itu, kantin SMA Nirwana ramai seperti biasa. Suara alat makan beradu dengan piring, derai tawa, dan obrolan riuh para siswa menciptakan kekacauan yang terasa akrab. Di salah satu sudut, Hanum baru saja tiba dengan langkah lesu. Dua sahabatnya, Cheryl dan Bella, sudah lebih dulu duduk di bangku panjang dekat jendela terbuka.

“Ciee... yang anak A sekarang,” goda Bella sambil mendorong piring batagor ke arah Hanum. “Gimana tuh, hari pertama? Udah diangkat jadi duta nilai sempurna belum?”

Hanum menjatuhkan diri ke bangku sambil mendesah panjang. “Duta kepala pusing, mungkin.”

Cheryl tertawa, meletakkan sedotan ke dalam gelas es jeruknya. “Baru juga mulai, Han. Belum disuruh bikin roket, kan?”

“Roket? Baru dua mata pelajaran aja otak gue udah berasa direbus di air panas,” keluh Hanum, mengambil sumpit dan mulai menyantap batagornya. “Apaan, hari pertama langsung dapat kimia sama fisika. Kelasnya juga… serem, semua pada kayak siap ikut debat antarnegara.”

Bella menaikkan alis. “Jadi, lo sekelas sama siapa aja?”

Hanum berpikir sebentar. “Banyak sih, kayak yang lo tahu. Semua anak penduduk peringkat teratas ada di sana semua. Heran deh, perasaan gua nggak pinter-pinter amat, kok bisa dimasukin situ?”

Cheryl tertawa. “Rendah diri banget dah! Liat noh, nilai biologi lo nggak pernah turun dari angka 9 itu yang lo sebut nggak pinter-pinter amat?”

Hanum meringis. “Ah, keberuntungan doang itu mah!”

Bella menggigit batagornya sambil nyengir. “Oh, ada Elang juga dong di sana? Gimana? Masih cakep nggak?” Bella terus menghujani Hanum berbagai pertanyaan khusus itu.

Hanum mendengus pelan. “Iya-iya, ada. Masih cakep kaya yang lo kagumin dari kelas 10 itu!”

Bella tersenyum manis. “Enak ya jadi lo, sekelas terus sama dia. Cuci mata tiap hari!” bisik Bella pelan.

Hanum menatap ke luar jendela, menatap langit siang yang mendung. “Gue baru liat, Elang keliatan intimidatif gitu dari deket. Tapi… persis yang lo bilang, Bel, otaknya selalu encer.”

“Yang gue heran, kelakuan sama kepintaran yang dia punya selalu imbang. Nakal iya, pinter iya, kaya iya, ah elah masa ada orang yang semuanya punya kayak dia sih?!” Cheryl terus mengomel. 

“Itu namanya takdir… orang ganteng takdirnya bagus!” sahut Bella asal.

“Lo bisa bedain takdir sama privilege nggak sih?” sahut Hanum sambil melipat tangan di dada.

Bella mengangkat bahu cuek. “Ya siapa suruh lahir ganteng, pinter, anak orang kaya pula. Lo pikir Elang bisa milih?”

Cheryl tertawa pendek. “Nggak bisa milih, tapi juga nggak susah kayak kita. Lo bayangin aja, Han, tiap hari naik mobil, bawa kamera mahal, terus cuma senyum dikit aja cewek-cewek langsung ngejerit. Hidup macam apa tuh?”

Hanum mengunyah pelan, lalu menatap sisa batagornya. “Gue nggak masalah sama hidup orang. Kelas A tuh, isinya… misterius. Nadine? Okelah, dia emang pintar, apalagi namanya nggak pernah absen di media setiap hal yang dia lakuin kan. Tito? Pinter sih iya, tapi kalian tahu kan, dia pernah kasus gara-gar bobol WIFI kantor? Apalagi Helmi? Asli, dia unsocial banget anaknya. Tapi kan biasanya yang masuk A tuh tipe-tipe ambis akademis yang ikut segala lomba dari kecil. Bukan anak-anak misterius yang... entah kenapa kayak sengaja dikumpulin bareng.”

Lihat selengkapnya