Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #5

Stage-2

Sore itu, Elang kembali ke markasnya.

Sebuah ruangan semi-loft di lantai dua gudang tua milik keluarga Aldy yang sudah lama tak terpakai. Cat temboknya pudar, lampu gantungnya kekuningan, tapi justru di situlah letak kenyamanannya. Tempat mereka bisa jadi diri sendiri—jauh dari sekolah, jauh dari orang dewasa, jauh dari drama rumah.

Di sana, Aldy dan Debra sudah duluan datang. Mereka duduk bersila di lantai karpet sambil bermain catur, dengan musik jazz lo-fi pelan yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan.

"Lama banget lo, Lang! Ketemu Andre lagi, hah?" Debra menoleh sekilas, matanya masih terpaku pada papan catur.

Elang melempar jaketnya ke sofa usang dan menghempaskan diri di sana.

"Emang anak anjing si Andre! Orang mau balik aja dicegat depan gerbang," gumamnya kesal sambil mengacak rambut sendiri. "Nggak ada kerjaan banget tuh bocah."

"Dia masih dendam sama lo, ya?" Aldy menahan tawa. "Gue pikir dia udah move on sejak lo babat gengnya tahun lalu."

"Ya makanya," Debra mencibir, memindahkan bidak catur. "Capek nggak sih hidup jadi Andre? Kayak nggak ada fase dewasa di otaknya."

"Dia emang nggak punya fase. Cuma mode on sama mode barbar." Elang nyengir tipis.

Aldy bangkit dari duduknya, menuju lemari kecil dan mengambil minuman soda kaleng. Dilemparkannya satu ke arah Elang. "Jadi lo diikutin sampai mana?"

"Dia nunggu di depan gerbang. Gue keluar parkiran, eh udah kayak nungguin mantan balik. Bawa dua temen, sok gaya. Tapi ya gitu… nggak nyampe lima menit juga udah kabur."

Debra tertawa sinis. "Nungguin mantan balik—kalo gitu lo tinggal bilang aja, 'Maaf, gue nggak cinta.'"

"Deb, gue pengen serius tapi lo ngajak stand-up terus."

Di markas ini, Elang bisa jadi dirinya sendiri. Bisa diam. Bisa marah. Bisa merasa... bebas.

“Gimana anak A?” tanya Aldy sambil rebahan dengan kepala menyandar ke dinding. “Kenal siapa aja lo?”

Elang menyandarkan punggung ke sandaran sofa, lalu membuka jaketnya setengah, membiarkannya menggantung di bahunya. “Siapa lagi? Helmi. Tito. Nadine…”

“Bukannya ada Hanum juga?” Debra menimpali sambil memainkan bidak catur di tangannya.

“Oh iya.” Elang mengangguk pelan. “Gue kira dia nggak lolos masuk A. Ternyata… masih jadi sorotan utama di Biologi.”

“Cewek itu nggak main-main,” gumam Aldy sambil memutar kaleng soda di tangannya. “Dari dulu track record-nya konsisten. Ranking, lomba, proyek sains. Tapi nggak pernah mau jadi pusat perhatian.”

“Gue liat dia tadi di upacara.” Debra ikut menimpali. "Berdiri paling pojok, tapi matanya muter terus. Kayak lagi scanning isi kepala satu lapangan.”

Elang tertawa pelan, miris. “Iya. Anak-anak A itu… nggak ada yang biasa.”

“Mereka anak jenius. Tapi kenapa perasaan gue kayak lo semua dikumpulin buat tujuan lain,” Aldy menyipitkan mata.

Debra menoleh tajam. “Maksud lo?”

Lihat selengkapnya