Hanum berdiri terpaku di atas motornya. Di depan sana, tepat sebelum gang masuk sekolah, kerumunan siswa dari dua sekolah berhadap-hadapan di tengah jalan. SMA Nirwana dan SMA Wijaya. Ketegangan menggantung di udara seperti kabel listrik yang siap putus kapan saja.
Hanum mengenali beberapa wajah. Di sisi kanan, berdiri Elang dengan jaket hitam lusuhnya, tangan dimasukkan ke saku celana, wajahnya datar tapi jelas tegang. Di belakangnya ada Aldy dan Debra, juga beberapa siswa Nirwana lainnya.
Di sisi berlawanan, Andre berdiri dengan ekspresi menyeringai, tatapan tajam, dan tangan mengepal. Di sekitarnya, anak-anak SMA Rantau berdiri dengan gaya yang tidak kalah menantang.
“Mau lo apaan sih, Ndre?” seru Elang, nadanya tidak marah, tapi jelas tidak sedang bercanda.
“Apa? Gue yang harusnya nanya itu ke lo, Lang! Lo yang mulai nyenggol orang gue duluan, ngapain sok-sokan kabur sekarang?”
Elang mendengus pelan. “Kalau temen lo nggak berulah, gue nggak mungkin nyenggol dia. Dan… gue nggak kabur. Gue cuma males ngeladenin lo pagi-pagi begini. Udah dandan buat olahraga, males bau darah lo.”
“Mulut lo masih sama kayak dulu,” Andre melangkah maju. “Tapi kali ini, lo nggak bakal bisa kabur!”
Hanum memegang erat stang motornya. Dia nggak bisa lewat, apalagi maju. Jalanan tertutup penuh. Dia sempat melirik ke arah Debra yang juga melihatnya, tapi tidak sempat memberi isyarat apa pun.
“Serang!”
Suara itu datang dari belakang. Teriakan yang disambut derap langkah dan benturan suara logam—dan detik itu juga, chaos dimulai. Anak-anak dua sekolah itu saling menerjang seperti dua gelombang pasang yang saling hantam. Tinju terayun, teriakan pecah, dan Hanum hanya bisa membelalak, terpaku.
“Anjir!” seru Hanum, mundur panik.
Belum sempat dia berbalik, sebuah tangan menariknya kuat-kuat dari arah samping.
“Eh—!”
Hanum tak sempat protes. Tubuhnya ditarik dengan paksa ke gang kecil di samping rumah warga. Jalur sempit dan lembab itu biasa dipakai anak-anak bolos. Kini, langkah-langkah mereka tergesa, suara teriakan dan benturan masih terdengar dari kejauhan.
Setelah melewati dua belokan, tubuh Hanum akhirnya didorong masuk ke sudut tembok belakang rumah warga. Sebuah tempat sempit yang bahkan tak cukup untuk dua orang berdiri dengan leluasa.
“Lo ngap—”
Mulut Hanum buru-buru ditutup dengan tangan dingin Elang. Nafas gadis itu terhenti setengah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah Elang begitu dekat—terlalu dekat. Nafasnya menghangatkan pipi Hanum, dan mata mereka saling bertemu. Tajam. Tegang.
“Diem,” bisik Elang di telinganya. “Atau lo habis di tangan Andre.”
Hanum menelan ludah. Tubuh mungilnya terhimpit di antara tembok dan badan Elang yang jauh lebih besar. Posisi yang jelas tidak nyaman, tapi tidak ada pilihan lain. Suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Nafas Hanum makin berat, tapi dia mencoba menurut.
Satu detik. Dua detik. Tiga langkah.
Suara sepatu Andre menggema di gang sempit itu.
Elang menunduk sedikit, matanya tak lepas dari ujung gang. Tangannya masih menutupi mulut Hanum. Jantung gadis itu berdebar semakin keras, tapi dia tidak berani bergerak.
Dan kemudian—sunyi. Langkah kaki Andre berbelok ke arah lain.
Elang baru menarik tangannya. Hanum segera menjauh, menyeka bibirnya sendiri sambil mengerutkan alis.
“Lo pikir gue nggak bisa diem tanpa lo tutup mulut gue?” katanya sengit.
Elang menyandarkan punggungnya ke dinding, menghela napas lega. “Gue pikir lo bakal panik.”
“Gue cuma panik karena lo tiba-tiba narik gue, bukan karena Andre!”
Elang menoleh, alisnya terangkat. “Serius?”