Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #8

Stage-4

Kantin masih ramai dengan suara piring beradu, tawa siswa, dan musik dari speaker yang entah dipasang siapa. Hanum dan Nadine duduk di pojok dekat kipas angin, masih memakai kaos olahraga yang sudah agak lembap karena keringat.

“Elang emang gitu, dia tuh nggak akan semudah itu kalah sama Andre,” kata Nadine sambil mengaduk jus alpukatnya dengan sedotan logam. “That boy’s stubborn as hell.”

Hanum menatap mangkuk soto mie-nya, mengaduk pelan. “Gue heran deh. Kenapa sih mereka berdua berantem terus? Nggak ada ya… cara lain buat nyelesaiin masalah yang nggak pake tonjok-tonjokan?”

Nadine menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengangkat alis. “Dulu mereka tuh bukan musuh, you know. Tapi setelah... that incident, semuanya berubah aja.”

“Lo tahu kejadiannya?”

“Sedikit, tapi not in detail. Kayak, it’s one of those things yang... ya udah lah ya. Udah lewat, tapi sisanya masih nempel.” Nadine menyeruput jusnya pelan, lalu menambahkan, “Tapi tenang, aman kok. Selama lo nggak ngusik, Elang nggak akan ngebawa lo ke dalam ribetnya.”

Hanum mengangguk pelan. “Iya sih. Tapi tetep aja, chaos banget pagi ini.”

Welcome to senior year, girl,” Nadine terkekeh kecil, “Drama, fights, and maybe... a little romance?”

Hanum menoleh cepat. “Apaan sih?”

Namun sebelum Nadine bisa menyahut, tiba-tiba ada tangan yang menjulur ke meja mereka—mengulurkan gantungan kunci motor dengan gantungan bulu warna biru muda. Hanum langsung mengenalinya.

“Motor lo masih aman, di parkiran C,” kata suara itu.

Hanum menoleh dan melihat Elang berdiri di sana. Bajunya sudah terbuka, menampilkan kaos hitam yang menempel di tubuhnya yang masih agak berkeringat. Ada luka kecil di sudut bibirnya dan sedikit goresan di pelipis.

“Eh, thanks! Tapi… lo nggak papa?” tanya Hanum spontan, menatap luka itu.

Elang mengangguk pelan. “Aman,” ucapnya singkat. “Oiya, sorry ya buat pagi tadi,” tambahnya sebelum berbalik dan berjalan ke sudut kantin, tempat Tito dan beberapa anak Nirwana lain sedang duduk—tertawa dengan pelan sambil menyamarkan kelelahan mereka.

Hanum menatap punggung Elang yang menjauh, masih menggenggam kunci motornya.

See?” bisik Nadine, “Hero mode activated.”

Hanum hanya memutar bola matanya, mencoba menutupi senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya.

***

Apartemen dengan dua kamar tidur itu terasa sangat sunyi begitu Nadine Keithara membukanya. Nuansa harum feminim terasa begitu kuat di sana. Nadine mulai masuk dan merebahkan tubuhnya di sofa, menatap kesunyian yang bertahun tahun dia rasakan sendiri. Televisi di hadapannya tetap gelap. Tak ada suara selain dengungan AC dan gemericik samar dari akuarium kecil di sudut ruangan. Nadine menatap langit-langit apartemen itu, kemudian menoleh ke arah meja makan yang selalu tertata rapi—tanpa pernah benar-benar digunakan untuk makan bersama.

Dia menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Di ujung mata, kelelahan yang bukan cuma berasal dari kegiatan sekolah mulai terasa berat.

Dengan malas, Nadine meraih remote dan menyalakan speaker bluetooth-nya. Lagu jazz instrumental mengalun pelan, tapi alih-alih mengusir sepi, musik itu malah memperjelas betapa heningnya tempat itu.

Matanya mengarah pada foto bingkai kecil di atas rak—foto lama saat dia berusia sekitar 7 tahun, berdiri di tengah antara papa dan mamanya. Ketiganya tersenyum… tapi Nadine kecil waktu itu belum tahu bahwa senyum itu akan berumur pendek.

“Lucu ya, Nadine kecil. Nggak tahu apa-apa,” gumamnya, sinis. Dia bangkit dan melangkah pelan ke dapur.

Sambil menuang susu dingin ke gelas, bayangannya sendiri memantul di pintu kulkas stainless yang mengilap. Dia memandangi dirinya sendiri lama-lama.

“Apa gue kelihatan kayak orang yang punya segalanya?” tanyanya pelan, kepada pantulan itu.

Lihat selengkapnya