Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #10

Stage-6

Malam itu, langit kota tampak berpendar redup. Jalanan mulai sepi, lampu jalan berkedip pelan. Di dalam mobil, Hanum memeluk dus besar berisi buku cerita dan majalah anak-anak yang sudah lama tersimpan rapi di rak kamarnya.

“Bunda dulu suka banget bacain buku ini waktu kamu kecil. Sekarang kamu bisa bagiin ke adik-adik yang belum tentu punya kesempatan itu,” kata Bundanya sambil menyetir.

Hanum mengangguk kecil. Ada rasa hangat dan sedikit gugup. “Mereka tinggal di mana sih, Bun?”

“Perkampungan pinggiran di daerah Rawasari. Bunda dapat kontak Bu Mira dari kenalan bunda yang aktif di komunitas sosial. Dia yang bantu jagain anak-anak jalanan yang nggak bisa sekolah. Nanti kamu ketemu langsung ya, Bunda ada meeting call sebentar.”

Begitu sampai, mobil berhenti di mulut gang sempit yang mengarah ke perkampungan. Lampu-lampu rumah menyala temaram, aroma gorengan dari warung kecil menusuk hidung. Bunda Hanum tetap di mobil, sibuk membuka laptop di pangkuannya.

Hanum turun sendiri, menggenggam dus besar dengan kedua tangannya. Seorang perempuan paruh baya berkerudung, dengan senyum hangat, menyambutnya di ujung gang.

“Hanum ya? Saya Bu Mira,” katanya ramah. “Makasih banyak udah mau nyumbang buku buat anak-anak di sini. Yuk, sini ikut saya.”

Hanum mengangguk, mengikuti langkah Bu Mira menyusuri gang kecil hingga sampai ke area lapang yang dijadikan semacam pos baca. Di situ ada beberapa anak duduk lesehan di atas tikar usang. Lampu gantung kecil menyala seadanya. Di antara mereka, berdiri seorang pemuda yang sedang jongkok sambil menunjuk huruf-huruf di papan tulis kecil yang dibuat dari triplek bekas.

Hanum tertegun.

Itu Elang.

Dengan jaket hitamnya yang disingkap ke siku, rambut acak-acakan, dan suara rendah khasnya, Elang sedang sabar menjelaskan huruf vokal kepada seorang bocah kecil yang mencoret-coret dengan kapur.

“Ini huruf A, bentuknya kaya segitiga kebalik, pinter banget kamu,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

Hanum berdiri di tempat, nyaris tidak percaya. Elang yang ia kenal di sekolah—dingin, sinis, suka tawuran, bikin onar, tapi pinter—sekarang tampak begitu berbeda. Wajahnya lebih lembut, matanya penuh perhatian.

“Iya, itu mas Elang, Neng,” bisik Bu Mira lembut, memperhatikan ekspresi Hanum. “Dia selalu datang ke sini buat ngajarin anak-anak baca dan tulis. Saya teh bersyukur pisan ada orang baik kaya mas Elang mau bantuin walaupun nggak dibayar.”

Hanum menoleh perlahan ke arah Bu Mira, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Bu Mira hanya tersenyum. “Kadang orang yang nggak kita sangka, justru yang paling besar hatinya.”

Hanum masih berdiri mematung ketika Elang akhirnya menoleh—dan pandangan mereka bertemu. Sejenak, dunia terasa sunyi.

“Eh?” Elang sempat melongo sebentar, lalu mengangkat satu alisnya. “Hanum?”

Hanum tersadar, langsung tersipu dan mengangkat dus bukunya.

“Gue... mau nyumbang buku cerita. Katanya di sini ada anak-anak yang butuh…”

Elang berdiri, mengangguk pelan. Tatapan matanya berubah tenang.

“Bagus tuh. Mereka seneng banget kalau ada bacaan baru.”

Hanum ikut duduk di dekat anak-anak, dan untuk pertama kalinya... dia melihat Elang bukan sebagai pesaing, tapi sebagai seseorang yang diam-diam menyimpan dunia yang tidak pernah ia sangka.

***

Di bawah cahaya lampu gantung yang remang-remang, suara anak-anak mengeja huruf dan tawa kecil mereka memenuhi udara malam. Hanum duduk di samping Elang, keduanya sibuk membagikan buku-buku yang dibawanya kepada anak-anak, menyelipkan satu-satu di hadapan mereka.

Sambil memilih buku bergambar dengan sampul warna-warni, Elang melirik isi kardus. Tangannya mengambil satu buku cerita dengan ilustrasi kelinci dan wortel besar di sampulnya.

“Lo suka baca buku?” tanyanya tanpa menoleh.

“Hmm? Kenapa?”

“Banyak juga buku anak-anak yang lo punya,” jawab Elang sambil mengeluarkan satu per satu buku dari kardus. Ia mengangkat satu majalah lama dan menepuk-nepuk sampulnya yang agak usang tapi masih rapi. “Ini keluaran 2014. Udah lama juga.”

Hanum tertawa pelan. “Oh itu... dari kecil bunda selalu beliin majalah, buku, novel, dan segala macem tiap edisi baru terbit. Gue baca paling sekali dua kali. Jadi ya, gitu deh. Numpuk di rumah.”

Elang mengangguk pelan. “Masih banyak di rumah?”

“Banyak. Tadinya mau gue bawa semua ke sini, tapi kata bunda mending dibagi ke tempat lain juga biar merata.”

Elang diam sebentar, lalu melirik ke arah Hanum dengan tatapan santainya yang khas.

Lihat selengkapnya