Senin pagi itu, matahari sudah naik tinggi saat upacara selesai. Barisan siswa-siswi mulai mencair, tapi tidak untuk mereka yang duduk di kelas 12. Sekelompok besar siswa justru tampak bergegas ke depan ruang aula. Suasana riuh, antrean panjang mengular sampai ke lorong kelas sebelah.
Hanum yang baru kembali dari kantin bersama Nadine menegang saat melihat kerumunan itu.
“Gila sih, rame banget.” ucap Hanum sambil memutar tutup botol air mineralnya. “Emang apa sih jaminannya masuk sana? Bisa lulus tanpa ujian apa ya? Kan nggak mungkin, anjir.”
Nadine menatap antrean itu dengan alis terangkat tinggi. “Ya entah, Han. Tapi denger-denger katanya ekskul itu semacam jalur belakang buat dapet jatah undangan kampus top. Gue sih muak liatnya. Kayak ambisi pada buta gitu.”
Hanum menyesap air mineralnya, masih memandangi kerumunan dengan perasaan yang tak enak. Ia melihat beberapa wajah familiar—anak-anak yang biasanya tak pernah peduli dengan kegiatan sekolah kini berdiri paling depan, menggenggam formulir seolah nyawa mereka bergantung pada itu.
“Tapi lo nggak penasaran sama sekali, Nad?” tanya Hanum lirih.
Nadine menoleh, mengangkat bahu. “Penasaran sih, ya. Tapi kalo sistemnya kayak gini, kayaknya ada yang nggak beres. Orang-orang jadi kayak balapan tanpa tahu finish-nya ada di mana.”
Hanum mengangguk pelan, menyadari kalau firasat tak enaknya semakin kuat. Dari kejauhan, ia melihat dua guru pengawas berdiri di depan aula, memeriksa nama satu per satu. Sementara di balik tirai aula, bayangan sosok kepala ekskul dan panitia lain tampak samar-samar.
Sampai di kelas, suasana terasa lengang. Hanum mendahului masuk, lalu mendapati satu-satunya penghuni ruang itu: Helmi, duduk di bangkunya, seperti biasa, tenggelam dalam dunia buku yang tebalnya hampir setara kamus besar. Tangannya sibuk mencatat, sementara mulutnya komat-kamit membaca dalam hati.
“Gue pikir anak 12A nggak perlu ikut ekskul olimpiade, ya,” gumam Nadine dari ambang pintu. Ia melangkah masuk sambil memainkan kunci loker yang tergantung di jarinya. “Ternyata pada daftar semua. Kayak desperate banget pengen dapet jalur undangan.”
Hanum meletakkan tasnya dan menoleh ke Nadine. “Ya mungkin takut bersaing di ujian masuk, jadi cari jalur aman.”
“Lo nggak join juga, Mi?” tanya Nadine sembari melirik Helmi yang sama sekali belum terusik sejak tadi.
Helmi baru menoleh setelah beberapa detik. “Join apa?”
“Ekskul olimpiade. You know, the hottest thing in school right now,” ujar Nadine dengan nada setengah mengejek.
Helmi mengernyit, lalu kembali menunduk ke bukunya. “Nggak tertarik. Too crowded. Terlalu banyak orang juga bikin belajarnya nggak efektif.”
Nadine tergelak. “Well, lo emang beda ya, Mi. Anak anti-mainstream sejati.”
Helmi tidak menanggapi. Ia justru membalik halaman bukunya sambil berujar datar, “Kalau mau dapet undangan, ya tinggal konsisten belajar aja. Nggak usah ikut keramaian kalau tujuannya sama.”
Hanum hanya mendengarkan percakapan mereka dengan mata menatap ke luar jendela. Suara hiruk pikuk dari aula masih terdengar sampai ke kelas. Entah kenapa, sejak tadi perasaannya nggak tenang. Bukan karena persaingan masuk ekskul olimpiade itu. Tapi karena... ada sesuatu yang ia belum tahu. Dan itu mengganggunya.
***