Lorong rumah sakit itu sunyi. Hanya denting jam dan suara hujan di luar yang terdengar samar. Tito berdiri diam di depan jendela kaca ruang rawat ibunya. Di dalam, seorang perawat tengah menyuapi wanita paruh baya yang duduk kaku di ranjang.
Ibunya tak menoleh, tak berbicara, bahkan tak menunjukkan ekspresi selain mata yang kosong menatap satu titik entah di mana. Sendok disuapkan ke mulutnya seperti rutinitas mekanis, tanpa kesadaran penuh.
Tito menggenggam erat gagang tasnya, menahan napas. Dadanya sesak. Kakinya ingin melangkah masuk, tapi tubuhnya menolak.
“Ibu kamu sudah makan malam tadi,” suara lembut datang dari sampingnya.
Tito menoleh. Seorang pria berkacamata, mengenakan jas dokter berwarna biru muda, berdiri di sebelahnya. Namanya Dokter Isra—psikiater yang menangani ibunya sejak dua tahun terakhir.
“Kenapa... beliau gak bicara sama sekali?” tanya Tito lirih, nyaris berbisik. “Dulu... walaupun suka bingung, beliau masih mau jawab kalau aku datang.
Dokter Isra menarik napas panjang, lalu menatap Tito dengan serius. “Sudah hampir tiga minggu ini ibumu menunjukkan gejala withdrawal, atau penarikan diri secara sosial. Ia semakin enggan berinteraksi, bahkan dengan kami atau perawat yang biasa merawatnya setiap hari.”
Tito mengerutkan kening. “Apa maksudnya... dia memilih diam?”
“Lebih tepatnya,” ujar Dokter Isra pelan, “pikiran dan emosinya sedang terperangkap dalam pola berulang yang tidak selesai. Kami menduga trauma lama kembali menguat—khususnya yang berhubungan dengan hilangnya Raga.”
Tito menunduk dalam-dalam. Nama itu. Luka itu.
“Ibumu mengalami gejala yang menyerupai Depressive Stupor, kondisi di mana pasien bisa menjadi sangat pasif, tidak responsif, bahkan kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan emosi. Ini bagian dari spektrum gangguan mood berat, biasanya berkaitan dengan Major Depressive Disorder dengan fitur psikotik. Dalam kasus beliau, ada delusi relasional yang tampaknya berkutat pada perasaan kehilangan dan rasa bersalah terhadap Raga.”
“Delusi?” gumam Tito.
“Beliau sering bergumam seolah Raga masih hidup, atau akan datang menjemputnya. Tapi ketika kita mencoba mengajak bicara lebih dalam, beliau langsung menutup diri. Ini bisa jadi mekanisme perlindungan, tapi juga bentuk penolakan realita.”
Tito meremas jaketnya. “Jadi... semua ini karena Kak Raga?”
“Bisa jadi karena kehilangan, bisa juga karena ada sesuatu yang belum selesai antara beliau dan Raga,” ujar Dokter Isra tenang. “Kamu tahu, trauma itu seperti pintu yang dibuka setengah. Kita pikir sudah tertutup, tapi angin sedikit saja bisa membuatnya terbuka lebar kembali.”
Tito menelan ludah. Di balik kaca, ibunya kini sudah selesai makan, tapi tetap diam, menatap jendela tanpa menyadari bahwa anaknya ada di sisi lain.
“Kalau... kalau gue bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Kak Raga… mungkin Ibu bisa—”
“Kamu tidak bisa menyelamatkan seseorang yang tenggelam kalau kamu sendiri masih berdiri di tepi dan takut melompat,” potong Dokter Isra lembut.
Tito terdiam.
“Tapi kamu bisa belajar berenang. Pelan-pelan. Dan ketika saatnya tiba, kamu bisa menariknya ke permukaan. Bukan sekarang. Tapi suatu hari.”
Tito menatap Dokter Isra dengan mata merah.
“Kalau begitu... saya harus tahu kebenarannya, Dok.”
Dokter Isra menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.
“Dan kamu tidak sendiri, Tito. Jangan pernah lupa itu.”