Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #15

Stage-10

Minimarket itu tidak terlalu ramai saat Elang masuk. Lampu-lampunya yang terang menciptakan nuansa aneh—terlalu steril untuk sore yang mendung. Dia hanya ingin beli minuman dingin dan mungkin sepotong roti cokelat untuk mengganjal perut yang belum sempat terisi sejak latihan basket.

Masih dengan kaos hitam polos dan celana seragam yang agak kusut, Elang berjalan menyusuri lorong rak, lalu berhenti di depan rak camilan. Tangannya hampir meraih bungkus keripik favoritnya, saat satu tangan lain—kecil, putih, kuku terpotong rapi—juga bergerak ke arah yang sama.

“Eh,—” suara mereka nyaris bersamaan.

Mereka berdua saling melirik, sedikit terkejut.

“Hanum?” Elang mengernyit, tak yakin apakah dia sedang halu karena lelah, atau memang benar gadis itu berdiri di depannya.

Hanum terkekeh pelan, menurunkan tangannya. “Maaf, refleks. Emang ini enak banget sih…”

“Lo ngapain di sini?” Elang akhirnya bertanya, heran. “Rumah lo kan jauh dari sini, ya?”

Hanum mengangkat cup matchalatte dari tangannya, lalu menunjuk kulkas pendingin. “Matcha kesukaan gue cuma ada di sini. Nggak tau kenapa, ya, yang di minimarket deket rumah rasanya beda.”

“Elah, demi matcha lo naik ojol?” Elang menahan tawa, setengah kagum.

“Demi hati yang damai,” jawab Hanum dengan senyum manis. “Dan demi nggak nyemil sembarangan. Lagi pengen yang pas.”

Elang hanya mengangguk, memandangi Hanum yang hari ini tampil dengan kulot putih panjang dan kaos knit yang dipadukan dengan outer rajut oversize. Penampilannya sederhana, tapi hangat. Gaya yang cocok dengan kepribadiannya yang kalem dan tidak suka jadi pusat perhatian.

“Kok lo masih pake seragam?” tanya Hanum sambil menuruni masker dari dagunya.

“Abis basket,” jawab Elang. “Terus mampir bentar.”

“Oooh…” Hanum membiarkan suaranya menggantung, lalu mengambil satu bungkus keripik lain. “Yang ini sisa satu, gue ambil ya?”

Elang mengangkat alis. “Kenapa?”

“Lo nggak mau ngalah sama gue?” Hanum tertawa kecil. “Toh, yang lain juga banyak.”

“Ambil aja,” gumam Elang, tapi di balik wajah datarnya, ada seulas senyum kecil yang muncul begitu saja.

Mereka berjalan ke kasir bersama, langkah mereka seirama tanpa sengaja. Hanum membayar duluan, lalu berdiri menunggu sambil memainkan sedotan plastik yang menggantung dari cup minumannya. Ketika Elang selesai membayar, ia keluar lebih dulu, tapi berhenti di dekat motor.

Sore itu, hujan gerimis mulai turun, tipis tapi cukup membuat udara menggigil. Langit kelabu menggantung rendah, seakan siap memuntahkan hujan sepenuhnya. Elang menoleh ke arah Hanum dan menunjuk kursi beton panjang di depan minimarket.

“Duduk dulu aja, hujan juga,” katanya singkat.

Hanum mengangguk kecil dan ikut duduk di sebelahnya. Cup matchalatte miliknya masih hangat dalam genggaman.

“Udah sore, nggak mau langsung pulang aja?” tanyanya pelan, matanya melirik langit yang makin gelap.

“Hujan, lo mau basah-basahan?” jawab Elang, menyandarkan punggung ke dinding minimarket.

“Kan bisa naik ojek mobil?”

“Nggak akan ada yang ambil kalau mepet gini,” sahut Elang, mengangkat bahu. “Lagi pula, mereka suka cancel kalau tahu lokasinya lumayan jauh, belum macetnya.”

“Iya juga sih…” Hanum menghela napas, menyeruput minumannya perlahan.

“Yaudah lah duduk bentar. Ntar gue anter,” kata Elang, nadanya datar tapi terdengar tulus.

Hanum tak membantah. Ia duduk lebih tenang sekarang, membiarkan hujan kecil itu menjadi musik latar dari keheningan mereka. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu dari dalam toko. Bau tanah yang tersentuh hujan menyusup pelan ke udara.

“Gimana rasanya gabung 12A sekarang?” tanya Elang akhirnya, memecah hening yang sempat lama. Ia tidak menoleh, matanya masih memperhatikan kendaraan yang sesekali melintas di jalan basah. Tapi nada suaranya cukup jelas—sebuah pertanyaan yang tidak sekadar basa-basi.

Hanum mengedip, lalu menoleh sedikit. “So far... good lah,” jawabnya pelan. “Masih belajar adaptasi sih, tapi nggak separah yang gue kira.”

Lihat selengkapnya