Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #16

Stage-11

Nadine terkejut melihat Tito berdiri tepat di depannya, hanya berjarak beberapa langkah saja. Dalam siluet lampu lorong yang temaram, wajah laki-laki itu tampak berbeda. Kaos putih polos yang dipakainya menempel rapi di tubuhnya, dipadukan celana pendek yang entah kenapa justru membuatnya terlihat lebih… tampan. Rambutnya sedikit acak-acakan, seperti habis lari atau tidur tergesa. Tapi Nadine tak berani bertanya.

“Lo ngapain di sini?” suaranya pelan, terdengar gugup bahkan di telinganya sendiri.

“Gue yang harusnya nanya lo gitu,” jawab Tito santai, tangannya dimasukkan ke saku celana, matanya tetap menatap Nadine tanpa kedip.

Nadine menunduk. Jantungnya berdebar kencang dan anehnya bukan karena pasien tadi. Bukan karena rumah sakit jiwa yang asing. Tapi karena dia, Tito.

Ia menyibukkan tangannya merapikan rambut panjangnya yang tadi sempat tersibak angin. Gerakannya lambat, hati-hati, seperti ingin menyembunyikan wajahnya sendiri di balik rambut.

Untuk pertama kalinya, Nadine tidak mau menatap Tito. Karena bagi Nadine, Tito malam ini bukan sosok yang biasanya ia lihat duduk santai di kelas, bukan laki-laki yang suka menyangkal pendapatnya.

Yang berdiri di hadapannya sekarang… adalah versi Tito yang asing. Dan kedekatan mereka malam ini terasa terlalu dekat.

“Lo udah makan?” tanya Tito, memecah keheningan.

“Belum, kenapa?” Nadine menjawab pelan, masih menahan napas.

“Mau cobain nasi goreng depan rumah sakit nggak?”

Sebelum Nadine sempat menjawab, Tito sudah lebih dulu menarik pelan lengannya, seperti tidak memberi ruang untuk protes.

“Eh—”

Tapi suaranya tenggelam. Langkah Tito mantap, seperti sudah tahu arah.

Nadine pun hanya menurut. Anehnya, dia tak merasa takut. Bahkan, saat berjalan di lorong panjang yang mulai sepi, ia sama sekali tak memikirkan dokter Alea, atau pasien yang mengamuk tadi. Semua seperti menguap. Lenyap dalam hening yang anehnya… menenangkan.

Dan di tengah malam yang basah oleh gerimis, Nadine menyadari sesuatu.

Mungkin… dia sedang jatuh ke dalam kekacauan yang lain. Tapi bukan karena trauma. Bukan karena luka lama.

Melainkan karena seseorang yang berjalan di sampingnya, masih menggenggam lengannya dengan tenang.

Tito.

***

Warung nasi goreng itu berada di bawah tenda sederhana berwarna biru yang sudah mulai pudar. Asap mengepul dari wajan besar, aroma bawang putih dan kecap manis membumbung di udara, menempel di jaket-jaket para pelanggan yang duduk di bangku plastik merah.

Nadine duduk diam, seperti yang diperintahkan Tito. Ia menunduk, kedua tangannya bertaut di atas paha, tidak menyentuh apa pun di meja yang sedikit lengket. Pandangannya berkeliling, mencoba memahami suasana yang baginya terasa… asing.

Ini pertama kalinya dia ada di situasi seperti ini.

Nasi goreng, menurut ingatannya, adalah buatan bibi di rumah dulu—dengan piring porselen dan irisan timun berbentuk bunga. Atau buatan Elang, yang kadang memasakkan untuknya saat masa-masa kelam menyeretnya ke dalam jurang sunyi. Di dapur kecil rumah Elang, dengan cahaya temaram dan kehangatan yang tidak pernah diucapkan tapi selalu terasa.

“Lo nggak pernah makan di warung pinggir jalan gini?” suara Tito membuyarkan lamunannya.

Nadine mengangkat kepala, sedikit terkejut. “Hm? I—iya, maaf…”

Tito tertawa pelan, tulus. “Kenapa minta maaf sih? Ya gue tahu kok. Little princess kayak lo nggak mungkin dong makan di pinggir jalan kaya gini.”

Nadine diam. Bukan karena marah. Bukan karena tersinggung. Tapi karena… dia tidak tahu harus merespon dengan apa.

Tito melanjutkan, suaranya lebih tenang. “Tapi tenang, semua makanan di sini bersih. Gue udah jadi pelanggan setia sejak lama, jadi lo nggak perlu khawatir.”

Lihat selengkapnya