Malam itu, Helmi duduk termenung di kamarnya yang cukup luas namun sepi. Lampu meja di sudut ruangan memantulkan cahaya temaram ke dinding, membentuk bayangan samar dari tubuhnya yang membungkuk. Di hadapannya, sebuah kotak hitam besar tergeletak tak tersentuh di lantai kayu.
Kotak itu sudah ada sejak ia masih duduk di bangku SMP. Kata ibunya, itu peninggalan terakhir dari sang ayah—kotak yang tak pernah bisa mereka buka, tapi juga tak pernah mereka buang.
Helmi menatap benda itu lama, matanya tak berkedip. Sudah ratusan kali ia menduga-duga isinya: apakah surat? peta? data? atau sekadar kenangan kosong dari sosok ayah yang tak pernah benar-benar ia kenal?
“Kalau memang penting, kenapa nggak ada yang tahu cara bukanya?” batinnya, getir.
Ia meraih sisi kotak dan mengelus permukaannya perlahan, seperti berharap benda itu akan memberi petunjuk. Tapi tetap tak ada suara, tak ada tanda.
“Ma… isinya apa sih sebenernya?” tanyanya tadi siang, lewat telepon.
Ibunya hanya tertawa kecil, “Nggak tahu, sayang. Dulu cuma Papa yang tahu passwordnya. Kamu coba buka aja, siapa tahu ketebak.”
Suara itu terdengar hangat, tapi Helmi tahu ibunya juga menyimpan luka yang tak pernah ia bicarakan. Karena meski hubungan mereka baik, ibunya tak tinggal bersama. Yang menemaninya selama ini hanya sang nenek—perempuan sepuh yang kini tidur lebih awal karena pengaruh obat.
Helmi kembali meletakkan kotak itu ke bawah ranjang, tempat yang sama sejak dulu. Ada keinginan besar untuk tahu... tapi ada ketakutan yang lebih besar kalau kebenarannya terlalu berat untuk diterima.
Ia duduk di tepi tempat tidur. Membiarkan pikirannya melayang. Tentang ayahnya. Tentang sekolah. Tentang suara-suara bisu yang hanya dia dengar saat malam datang.
***
Pagi itu, udara di SMA Nirwana terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya. Bel tanda masuk baru saja berbunyi, tapi halaman sekolah sudah penuh oleh guru-guru yang hilir-mudik, menyambut kedatangan rombongan dari Dinas Pendidikan.
Kabarnya, SMA Nirwana terpilih sebagai tuan rumah untuk seleksi nasional Olimpiade Sains tahunan—ajang paling bergengsi bagi siswa-siswi berprestasi dari seluruh Indonesia. Pemilihan ini bukan tanpa alasan. Selama lima tahun berturut-turut, SMA Nirwana berhasil mempertahankan gelar Sekolah Terbaik se-Provinsi, dan meluluskan siswa dengan nilai tertinggi ujian kelulusan skala nasional.
“Siapin ruang AVA dan lab biologi, nanti mereka mau lihat fasilitas kita,” suara Pak Wira, Wakil Kepala Sekolah, terdengar lantang di lorong utama.
Di antara lalu-lalang itu, Elang berdiri di tangga lantai dua, memperhatikan semuanya dari atas. Ranselnya masih tergantung di satu bahu, dan matanya menyapu setiap wajah baru yang masuk ke gerbang. Di antara rombongan, ia menangkap satu sosok laki-laki tua berbadan tegap dengan setelan abu-abu elegan—entah mengapa, wajah itu mengganggu ketenangannya. Seperti deja vu.
Sementara itu di ruang OSIS, Nadine dan beberapa anggota pengurus sibuk merapikan dokumen serta rundown penyambutan.
“Gue baru tahu sekolah kita segitu pentingnya,” ujar Nadine pelan sambil menyusun map berlogo dinas.
“Yah, penting karena... banyak yang harus ditutupi juga,” gumam Vira, bendahara OSIS, setengah bercanda.
Nadine hanya melirik sekilas. Beberapa kata memang terdengar ringan, tapi dia tahu betul ada kebenaran pahit di baliknya. Terutama setelah kejadian minggu lalu—ruang bawah tanah yang tak tercatat, berkas-berkas lama yang disembunyikan, dan... keterlibatan nama-nama penting.
“Lo nggak pengen ikut nyambut?” tanya Vira.
Nadine menggeleng, “Gue tunggu di sini aja. Nanti kalau diminta bantu, baru gue turun.”
Vira mengangguk, dia memilih untuk kembali dengan tugasnya. Anggota OSIS pagi itu lebih hectic dibandingkan siswa lainnya, mereka mendapatkan mandat besar untuk mengawal tim dinas pendidikan untuk berkeliling. Karena kegiatan pembelajaran tetap berlangsung seperti bisanya, hanya anggota terpilih yang akan mewakilkan.
“Nad, kabarin Fino kalau semua berkas udah selesai, habis ini kita langsung antar ke aula.” Nadine mengangguk paham setelah mendengar perintah Vira.
Di tengah riuhnya persiapan dan tamu-tamu penting yang datang dari Dinas Pendidikan, Helmi justru duduk tenang—atau lebih tepatnya terpaksa duduk—di kursi ruangan wali kelasnya, Bu Meta.
Ruang itu sepi, hanya ada aroma lembut kopi hitam yang sudah mendingin di meja. Helmi menatap map bertuliskan “Delegasi Olimpiade Sains Nasional – SMA Nirwana”, dengan namanya tercetak paling atas.
“Kenapa harus saya, Bu?” tanya Helmi, nadanya rendah, tapi tajam. “Bukannya Elang lebih pantas?”
Bu Meta menurunkan kacamatanya sedikit, menatap Helmi dengan lembut tapi tegas. “Helmi, di sini bukan soal siapa yang paling pantas. Ini soal siapa yang berani dan punya niat.”
“Tapi Elang juga capable, Bu. Dia selalu juara kelas, pernah ikut olimpiade juga.”
“Ya, Elang unggul. Tapi kamu jauh lebih bisa mengontrol emosi. Dalam kompetisi setingkat nasional, bukan cuma otak yang diuji, tapi juga ketenangan. Kemampuan membaca situasi. Logika. Kamu punya itu.”
Helmi menunduk. “Kalau logika, saya rasa Tito juga bisa. Hanum dan Nadine juga punya kapasitas.”
Bu Meta tersenyum kecil. “Benar. Tapi tahu nggak, dari semua nama yang kami pertimbangkan, hanya kamu yang nggak pernah secara aktif menunjukkan ambisi.”
Helmi mengernyit, bingung.