Suara riuh lapangan yang mulai sepi hanya terdengar samar dari kejauhan. Di atas rooftop sekolah, Elang duduk bersandar di pagar besi berkarat, sementara Tito menekuri layar laptopnya yang dibalut stiker kartun. Tampak peta titik-titik CCTV SMA Nirwana dengan satu kamera menyala terang: kamera aula utama.
"Aula?" Elang memicingkan mata, menoleh pada Tito. "Lagi ada acara?"
"Tim Dinas Pendidikan lagi break," gumam Tito tanpa mengangkat kepala. “Tapi bukan itu yang penting.”
Di layar, mereka bisa melihat Pak Danu tengah berbicara dengan seorang pria berkemeja abu-abu dan pin emas kecil di kerah jasnya. Kamera memantau dari sudut atas aula, tampak dari jauh, tanpa suara.
"Kenapa nggak ada suaranya?" Elang bertanya sambil menyesap minuman kalengnya.
Tito mengangkat bahu, lalu menekan beberapa tombol.
"Ini CCTV model lama. Panasonic WV-SPN531. Rilisnya udah dari sepuluh tahun lalu. Nggak ada modul audio. Makanya cuma video doang yang bisa direkam,” jelas Tito, jari-jarinya lincah memutar tampilan ke sudut lain.
Elang mendengus. "Sekolah segede ini, CCTV-nya kayak warung kelontong."
“Justru karena itu mereka nggak pernah curiga sistemnya bisa disadap,” Tito menyeringai kecil. “Gue punya salinan semua arsip kamera dari dua bulan terakhir. Otomatis backup setiap jam lewat jaringan bayangan.”
"Kayak mata-mata beneran lo."
“Gue cuma gak suka dibohongin. Sekolah ini terlalu kinclong buat tempat yang katanya ‘jujur dan unggul’.”
Layar laptop memperlihatkan Pak Danu melangkah keluar aula. Lima menit berlalu.
Tito hampir memindahkan fokus kamera ketika Elang menyipitkan mata ke layar. “Eh—eh, itu… bukannya Helmi?”
Tito menghentikan gerakannya.
Sosok Helmi muncul dari sisi koridor, tepat di dekat pintu kamar mandi. Ia keluar dengan langkah santai, sesekali melihat sekitar seakan memastikan tak ada yang memperhatikannya.
"Lah, ngapain tuh anak di situ?" Elang mengangkat alis. "Waktu Pak Danu keluar dari aula, Helmi baru keluar dari kamar mandi?"
Tito mengangguk pelan, kepalanya mulai bekerja cepat. "Jarak antara kamar mandi dan aula... sekitar tiga meter. Pintu aula kebuka sebagian, dan posisi dindingnya paralel."
“Lang,” gumamnya. “Gelombang suara bisa menjangkau sejauh itu kalau ruangan relatif sepi dan nggak ada gangguan akustik.”
Elang menatap layar, lalu mengangguk pelan. “Artinya…”
“…pembicaraan Pak Danu masih bisa didengar Helmi.”
Tito menatap layar, lalu menoleh ke Elang. “Dan kalau dia denger, dia bisa jadi kunci informasi yang selama ini kita cari.”
Mata mereka bertemu, ada kilatan tak terucapkan di sana.
Sore itu, hanya Elang dan Tito.
Tito tengah membolak-balik catatan digital di tabletnya, sedangkan Elang bersandar di dekat jendela, memperhatikan lapangan yang mulai lengang. Angin sore membawa aroma tanah dan sisa hujan semalam.
“Dia anak aneh, ya,” gumam Elang.
Tito mendongak. “Siapa?”
“Helmi.”
“Lembek sih, tapi bukan bodoh. Dan gue rasa dia punya banyak simpanan hal yang nggak dia omongin.”
Elang berjalan pelan ke meja, mengetuk-ngetuk permukaannya.
“Gue pikir…,” ia berhenti sejenak, menimbang. “Kita harus tarik dia pelan-pelan. Jangan frontal. Dia tipe yang kalau ditekan malah nutup diri.”
Tito mengangguk. “Gue juga nggak mau buru-buru. Tapi kita harus tahu sejauh apa dia dengar waktu itu.”
***
Bau pengharum ruangan yang terlalu manis menusuk hidung Elang. Ruangan kecil itu dingin, rapi, dan terasa asing—terlalu asing untuk seseorang seperti dia yang lebih sering mondar-mandir di lorong belakang sekolah atau nongkrong di atap perpustakaan.
Ia duduk menyamping di kursi tunggu, kedua siku bertumpu di lutut, kepala sedikit menunduk. Tapi bukannya merenungi kesalahan, Elang justru mencuri pandang ke sisi kanan ruangan. Di sana, di sudut dekat jendela, Helmi, Airin, dan Farel tengah duduk rapi di depan Bu Lina, guru BK yang biasanya menangani anak-anak terpilih.
“Minggu depan kalian mulai masuk masa karantina intensif. Jadi latihan akan full seharian Sabtu-Minggu,” ujar Bu Lina, suara lembut tapi tegas. “Olimpiade ini bukan cuma soal nilai—ini pintu kalian untuk beasiswa dan jaringan riset besar. Siap?”
Ketiganya mengangguk bersamaan, tapi mata Helmi tak sepenuhnya tertuju pada Bu Lina. Pandangannya—sebentar, hanya sekejap—melesat ke arah Elang. Lalu buru-buru kembali ke catatan di pangkuannya.
Helmi mengenal sosok yang sekarang menjadi teman sekelasnya itu. Terlalu sering ia dengar reputasinya. Elang si biang onar. Elang yang katanya anak jenius tapi tempramental. Elang yang beberapa hari lalu nyaris mengeroyok anak kelas sebelas hanya karena... entahlah, rumor yang beredar terlalu banyak untuk dipercaya.
Sementara itu, Bu Rara, guru BK satunya, baru saja duduk di kursi di depan Elang.