Hari demi hari berlalu seperti bayangan di jendela kereta—cepat, samar, dan tak bisa dihentikan. Dan hari ini, Olimpiade Sains Nasional resmi dibuka di SMA Nirwana.
Suasana sekolah berubah drastis sejak pagi. Tak ada bel pelajaran, tak ada guru-guru yang mondar-mandir di koridor dengan wajah lelah. Semua berganti dengan sorak-sorai, spanduk warna-warni, dan aroma jajanan dari berbagai penjuru halaman. Lapangan tengah berubah jadi arena bazar makanan dan kerajinan tangan antar sekolah. Ada stan es krim nitrogen dari SMA Tunas Muda, stan sushi fusion dari SMK Pariwisata Nusantara, sampai kopi cold brew racikan siswa SMA Internasional Harapan.
Di antara keramaian itu, Hanum berdiri anggun di belakang meja panjang yang dihias sederhana tapi rapi. Ia mengenakan rok seragamnya yang disetrika licin, dipadukan dengan kaos putih bertuliskan logo SMA Nirwana beraksen biru laut.
“Aduh Han, bisa nggak gue dapet gratis kalau beli di sini?” suara manja Cheryl memecah konsentrasi Hanum yang sedang menghitung kembalian.
Hanum mendongak. Cheryl datang bersama Bella, keduanya dengan senyum paling menggemaskan yang hanya keluar saat mereka mau minta sesuatu.
“Yaelah, kalau lo berdua gratis, rugi yang ada gue, mah!” balas Hanum sambil memasukkan uang ke kotak kas.
“Sama temen sendiri masa gitu sih!” protes Bella sambil mengambil tusuk sosis bakar yang masih mengepul di meja.
Cheryl ikut-ikutan mengaduk-aduk minuman dingin di termos besar. “Lagian ini kan demi semangat persahabatan. Gratis satu cup es markisa, buat menjaga silaturahmi, gimana?”
Hanum melipat tangan, pura-pura galak. “Boleh gratis kalau kalian bantu stand ini sampe selesai. Deal?”
Bella dan Cheryl saling pandang, lalu mengangkat tangan bersamaan. “Deal!”
Hanum terkekeh pelan. Langit pagi itu biru bersih, seolah tahu bahwa hari ini adalah hari besar bagi SMA Nirwana. Di lapangan utama yang telah dipenuhi tenda-tenda putih dan spanduk warna emas bertuliskan “Olimpiade Sains Nasional 2025”, para peserta dan tamu undangan sudah duduk rapi di kursi-kursi yang berjejer. Di depan, sebuah panggung sederhana tapi elegan berdiri tegak dengan latar layar LED menampilkan logo Kementerian Pendidikan dan seluruh SMA-SMA yang terlibat.
Pak Danu, kepala sekolah SMA Nirwana, naik ke podium dengan setelan jas abu terang dan dasi biru tua yang kontras. Tepuk tangan menggema. Ia berdiri tegak, menyapu hadirin dengan tatapan hangat dan penuh wibawa.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucapnya lantang.
“Salam sejahtera untuk kita semua. Hari ini, atas nama SMA Nirwana dan juga seluruh sekolah yang terlibat , saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya atas kepercayaan yang diberikan kepada kami sebagai tuan rumah Olimpiade Sains Nasional tahun ini. Sebuah kehormatan—dan sekaligus tanggung jawab yang besar.
Lebih dari seratus sekolah, dari berbagai penjuru Indonesia, hadir di tempat ini bukan hanya membawa nama institusi, tapi juga semangat muda, keingintahuan, dan dedikasi untuk ilmu pengetahuan. Saya percaya, di sinilah tempat kita menyaksikan generasi masa depan bangsa—bukan hanya yang cerdas, tapi juga jujur, tangguh, dan siap menginspirasi dunia.”
Tepuk tangan kembali membahana.
“Saya berharap, acara ini tidak hanya menjadi arena lomba, tapi juga ruang pertemuan—untuk bertukar pikiran, menjalin persahabatan, dan saling belajar. Selamat berkompetisi. Junjung sportivitas. Mari kita buktikan bahwa ilmu pengetahuan adalah cahaya yang tak pernah padam.”
Ia menutup sambutannya dengan senyum kecil dan anggukan hormat. Tepuk tangan panjang kembali mengisi udara pagi.
Setelah Pak Danu turun dari podium, suasana langsung berganti lebih santai. Sebuah band dari SMA Persada Jakarta naik ke panggung, membawa gitar akustik dan keyboard. Lagu yang mereka bawakan adalah “Menuju Puncak”—lagu penuh semangat yang langsung membuat para peserta ikut bernyanyi pelan atau menepuk tangan mengikuti irama.
***
Sementara itu, di dalam aula besar yang sejuk karena pendingin ruangan, para peserta yang berasal dari 105 SMA berkumpul dalam barisan rapi. Aula itu telah diatur sedemikian rupa: layar besar menampilkan jadwal lomba, sementara di depan, seorang pembina tim ekskul olimpiade SMA Nirwana yang merangkap panitia—Bu Asti—melangkah ke mikrofon dengan clipboard di tangannya.
“Selamat pagi semuanya,” sapanya, ramah tapi tegas. “Sebelum kalian memulai tahap pertama kompetisi siang nanti, kami akan jelaskan alur dan teknis pelaksanaan olimpiade selama tiga hari ke depan.”
Peserta memperhatikan dengan serius. Beberapa mencatat, beberapa lainnya mulai terlihat gugup.
“Untuk hari pertama, kalian akan menjalani ujian teori secara individu. Durasi: 120 menit. Soal bersifat gabungan dari mata pelajaran Fisika, Biologi, dan Kimia. Sesi siang hari ini akan dimulai pukul 13.00 di ruang-ruang yang sudah ditentukan. Kalian bisa lihat penempatan ruangan lewat barcode yang kami bagikan barusan.”
Ia mengganti slide di layar. Muncul bagan besar alur kegiatan.
“Hari kedua akan diisi praktik laboratorium tim. Hari ketiga adalah presentasi studi kasus. Dan… satu catatan penting: semua peserta wajib menjaga integritas akademik. Kami akan menggunakan sistem pengawasan berlapis.”
Beberapa peserta tampak saling menatap. Kata “berlapis” itu cukup menimbulkan rasa cemas.
“Kalau ada pertanyaan, silakan ajukan ke mentor pendamping masing-masing. Setelah ini, silakan bergabung ke ruangan briefing masing-masing bidang. Kalian punya waktu 30 menit untuk bersiap.”
Setelah pengarahan selesai, aula mulai riuh oleh langkah kaki dan obrolan lirih. Namun, di antara semua suara itu, di sudut aula dekat pintu masuk, Tito—yang bertugas sebagai panitia dokumentasi—sedang berdiri dengan headset terhubung ke walkie-talkie. Matanya menatap layar kecil di tangannya, memperhatikan aktivitas kamera CCTV sekolah dengan intensitas berbeda.
Karena di Olimpiade ini, tidak semua yang sedang diuji... adalah pelajaran.
***