Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #21

Stage-15

Begitu langkah kaki itu mendekat, Elang dan Tito refleks berdiri bersamaan. Keduanya saling melirik sejenak—seolah ingin memastikan bahwa apa yang mereka lihat bukan halusinasi.

Sosok itu berhenti tepat di depan mereka. Helmi.

Dia terlihat gugup. Tapi sorot matanya mantap.

“Lo beneran dateng…” gumam Elang, setengah tak percaya.

Helmi hanya menangguk pelan. Suasana terasa membeku untuk sesaat.

Elang menarik napas, mencoba mencairkan suasana. “Duduk dulu, Mi.”

Dia menarik salah satu kursi plastik dekat pagar rooftop, mendorongnya sedikit ke depan. Helmi menatap kursi itu sejenak, lalu duduk perlahan. Matanya masih berganti pandang antara Elang dan Tito.

Tito menutup laptopnya pelan. Kini semua fokus tertuju pada Helmi.

Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Helmi bicara. “Waktu itu… gue nggak sengaja denger obrolan mereka. Pak Arsyad sama Pak Danu. Di belakang aula, deket kamar mandi.”

Elang dan Tito saling menoleh sejenak.

“Mereka ngomong soal kredibilitas sekolah, soal reputasi yang harus terus dijaga. Tapi cara mereka ngomong—nada suaranya—nggak kayak pembicaraan biasa.”

Helmi menunduk sebentar, menekan kedua tangannya di pangkuan.

“Ada kalimat yang bikin gue mikir... Pak Arsyad bilang, ‘kita udah terlalu jauh buat mundur’. Terus Pak Danu cuma bilang, ‘asal semua masih percaya sama sistemnya, kita aman.’”

Tito mengepal tangannya perlahan. Elang menyandarkan punggungnya, mencoba mencerna.

“Gue nggak ngerti maksudnya apa, tapi makin hari makin keliatan aneh. Terutama soal ekskul olimpiade itu.” Helmi menatap mereka dengan sorot penuh keyakinan. “Gue yakin, ini ada hubungannya sama ekskul olimpiade yang bertahun-tahun udah bikin siswa siswinya lolos beasiswa luar negeri itu.”

Tito mengangguk pelan. “Gue juga dapet data soal itu. Tapi berkasnya kosong. Semua siswa yang lolos, nggak ada rekam jejaknya lagi di sini. Semuanya lenyap, tanpa sisa.”

Helmi menghela napas dalam. “Dan masalahnya, gue nggak punya akses. Semua arsip sekolah, semua catatan keberangkatan siswa, itu dikunci rapat.”

Elang menatap Tito. “Kayaknya kita perlu lebih dari sekadar akses CCTV.”

Tito membalas, pelan. “Kita butuh masuk sistem data siswa langsung. Basis utama sekolah.”

Helmi mengangkat wajahnya. “Kalau kalian bisa bantu buka aksesnya, gue siap kasih informasi lain. Termasuk… soal anak-anak yang katanya hilang kontak itu.”

“Anak-anak?” tanya Elang tajam.

Helmi mengangguk. “Ada tiga alumni yang gue kenal. Dulu sempat cerita mereka lolos beasiswa, tapi sekarang akun medsosnya lenyap. Nomornya udah nggak aktif. Keluarganya juga katanya pindah mendadak.”

Suasana mendadak sunyi. Angin sore yang bertiup di rooftop tak cukup menenangkan ketegangan yang pelan-pelan merambat ke kulit mereka.

Lalu, Elang bangkit berdiri. “Kalau gitu... kita udah nggak bisa main-main lagi.”

Tito menambahkan, pelan. “Mulai hari ini, kita harus gali semuanya. Sampai ke akar.”

Helmi menatap mereka bergantian, lalu mengangguk. “Gue bareng kalian.”

BRAK!

Pintu rooftop terbuka dengan suara nyaring, menghentikan percakapan serius tiga laki-laki itu. Elang, Tito, dan Helmi serempak menoleh. Di ambang pintu, dua tubuh terjatuh bertumpukan—gadis dengan seragam kaos putih dan rok navy itu terlihat panik. Salah satu gelas minuman tumpah, isinya menggenang di lantai semen.

“Nadine? Hanum?” Elang memicingkan mata, tercengang. “Kalian ngapain di sini?!”

Dua gadis itu menyeringai polos meski wajah mereka menyiratkan rasa sakit. Tubuh Nadine masih separuh menimpa Hanum, sementara lutut dan siku mereka terlihat lecet.

“Uh… sakit juga ternyata,” keluh Hanum pelan.

Elang dan Tito segera menghampiri, masing-masing menarik tubuh Hanum dan Nadine untuk membantu mereka berdiri.

“Ngapain ke sini?” tanya Elang, kali ini dengan menahan kekesalan yang bercampur khawatir.

Lihat selengkapnya