Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #22

Stage-16

Pagi itu, aula sekolah dan lapangan indoor telah disulap menjadi ruang laboratorium raksasa. Lomba ini akan dilaksanakan di dua tempat berbeda dengan empat kali sesi. Setiap sekolah mendapatkan dua kali sesi lomba dengan materi yang berbeda. Setiap tim mendapatkan satu meja besar lengkap dengan alat-alat laboratorium, lemari reagen kecil, mikroskop, hingga alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, dan kacamata pelindung. Panitia tidak main-main—ini bukan eksperimen biasa. Ini gabungan antara ilmu biokimia, reaksi senyawa, dan analisis mikroorganisme.

Tim dari SMA Nirwana yang mendapatkan tempat di lapangan indoor sudah berdiri di meja nomor 14. Helmi, Airin, dan Farel mengenakan jas laboratorium putih bersih yang tampak kontras dengan keseriusan di wajah mereka. Di sisi kanan mereka berdiri Pak Agil, guru muda yang dikenal perfeksionis tapi visioner. Banyak siswa menaruh respect padanya, dan hari ini, Pak Agil memegang peran penting sebagai mentor mereka.

“Dengar, kalian harus bisa bagi tugas,” ucap Pak Agil perlahan namun tegas, suaranya hanya cukup didengar oleh ketiganya.

Helmi mengangguk. “Saya pegang bagian sintesis enzim dan identifikasi struktur.”

Airin menyusul, “Saya analisa hasil pengamatan mikroskop dan kontrol suhu reaksi.”

Farel menyahut santai, “Oke, kalau gitu saya bagian pengukur reagen dan monitoring perubahan warna serta gas—gue tahu kalian paling malas ngitung-ngitung volume.”

Pak Agil tersenyum kecil, namun tak mengendurkan nada bicaranya. “Bagus. Tapi satu hal, jangan pernah sepelekan hal kecil apa pun. Setiap tetes, setiap detik, bisa mengubah hasil. Gunakan insting kalian sebagai ilmuwan—bukan cuma siswa.”

Ketiganya saling pandang. Ketegangan berubah jadi kesiapan.

Dari pengeras suara, terdengar suara panitia:

“Peserta lomba praktik laboratorium silakan bersiap. Sesi pertama akan dimulai dalam lima menit. Harap pastikan semua alat terpasang dan semua anggota mengenakan pelindung dengan benar. Waktu pengerjaan: 90 menit.”

Beberapa siswa tampak tegang. Ada yang memeriksa ulang tabung reaksi mereka. Ada yang merapikan label dan pipet.

Di hadapan mereka, tugas praktikum telah disegel dalam map plastik. Di bagian depan tertulis:

“UJI AKTIVITAS ENZIM BIOKATALITIK PADA LARUTAN BERBASIS HIDROKARBON DAN IDENTIFIKASI MIKROORGANISME PENGURAI.”

(Wajib memisahkan gas hasil reaksi, mengontrol suhu, dan menghindari kontaminasi silang. Tes reaksi endotermik di tahap akhir akan memicu perubahan warna spesifik yang menentukan validasi keberhasilan eksperimen.)

Helmi menyipitkan mata. “Oke… ini kayak lomba sains tingkat nasional beneran.”

Airin mengangkat alis. “Dan bisa meledak kalau salah?”

Farel terkekeh sambil memasang masker. “Tenang, kita nggak bakal bikin aula ini jadi rumah sakit kok.”

Pak Agil berdeham. “Ingat, tujuan utama bukan cuma berhasil, tapi juga selamat. Kalau kalian pingsan gara-gara ammonia bocor, saya nggak bisa nyuapin kalian sarapan.”

Mereka tertawa kecil. Tegangan mereda, digantikan rasa percaya.

Tepat pada pukul 08.00, bel digital berbunyi. Lomba dimulai. Seluruh mentor kembali ke tempatnya dan meninggalkan anak didiknya berjuang.

Helmi segera membuka map soal dan membaca langkah-langkah prosedur dengan cepat, menyambungkan tahapan sintesis enzim dengan larutan yang harus disiapkan. Farel bergerak cekatan menyusun reagen sesuai urutan, dan Airin mulai menghidupkan pemanas serta mengatur suhu di dua tabung utama.

Uap tipis mulai mengepul dari permukaan larutan, dan warna ungu tua perlahan muncul dari salah satu tabung.

“Stabilisasi berhasil,” gumam Helmi.

Tapi tantangan baru dimulai: mikroorganisme hasil reaksi harus dipindahkan ke media khusus dan diamati dalam mikroskop selama 2 menit untuk melihat aktivitas penguraian.

“Pakai transfer pipet yang steril,” kata Airin cepat. “Kalau kontaminasi, ulang dari awal.”

Suasana di meja tim mereka menjadi sangat intens. Aroma khas senyawa kimia tercium samar. Helmi dan Airin bekerja nyaris tanpa bicara, seperti dua ahli riset sungguhan. Farel tetap tenang, mengatur waktu dengan stopwatch kecil dan terus mencatat perubahan warna serta volume gas yang terbentuk di bejana kaca kecil di pojok meja.

Waktu terus berjalan, namun mereka tetap stabil. Tidak tergesa, tidak lengah.

Dari jauh, Pak Agil hanya memantau sambil sesekali tersenyum bangga.

“Inilah alasan kenapa saya memilih kalian,” bisiknya lirih pada dirinya sendiri. 

***

Suasana kantin sekolah terasa lengang. Hanya terdengar riuh kecil dari beberapa siswa panitia yang masih berjaga di area belakang. Sementara itu, empat remaja dari SMA Nirwana duduk santai di sudut kantin, tepat di bawah kipas angin yang berdecit pelan. Mereka adalah satu-satunya kelompok siswa yang bisa menikmati waktu santai saat lomba sedang berlangsung di aula dan lapangan indoor.

Lihat selengkapnya