Sekitar pukul delapan malam, ruang khusus yang terhubung langsung dengan kamar Tito berubah jadi markas kecil. Suasana ceria di ruang tamu berganti jadi nuansa tegang penuh konsentrasi. Layar-layar monitor memantulkan cahaya biru ke wajah-wajah yang menatap serius. Di tengah, Tito duduk di kursi kerja dengan laptop menyala di hadapannya, jarinya lincah menyisir folder demi folder data.
Elang berdiri di sisi kiri Tito, kedua lengannya disilangkan sambil menatap layar tajam. Di sisi kanan, Helmi duduk dengan postur condong ke depan, tatapannya tajam menyelidik setiap rekaman yang diputar.
Di belakang mereka, di sofa panjang, Nadine dan Hanum sibuk mengamati cuplikan video CCTV yang ditampilkan melalui layar eksternal. Keduanya memakai headset masing-masing, mencatat waktu dan durasi adegan yang mencurigakan.
“Lo yakin, To, ada yang nggak beres sama ekskul Olimpiade?” tanya Elang, nadanya datar, tapi ada ketegasan di baliknya.
Tito tidak mengalihkan pandangan dari layarnya. “Yakin lah. Dua tahun, Lang. Dua tahun gue nyari bukti itu. Lo pikir gue iseng ngelacak satu-satu rekaman anak kelas 12 dari 3 tahun lalu?”
“Tapi... nggak sekuat itu kan buktinya?” Helmi ikut bersuara, nada skeptisnya seperti biasa, tapi kali ini lebih lembut.
“Right,” sahut Tito cepat, suaranya sedikit berat. “Makanya gue butuh lo, Mi.”
Helmi mengernyit. “Oke, selanjutnya?”
“Lo satu-satunya yang bisa masuk ke lingkaran itu secara langsung,” jawab Tito tanpa basa-basi. “Setelah lo ternyata diminta Bu Meta ikut lomba secara langsung, itu berarti bukan hanya Bu Meta yang percaya sama lo, tapi juga pembina ekskul percaya lo punya potensi.”
“Tapi gue kan nggak ikut ekskul Olimpiade secara formal.”
“Justru itu yang bikin lo aman,” sela Elang. “Kalau lo jadi bagian mereka, mereka bisa curiga. Tapi sekarang lo punya dua senjata—Airin dan Farel.”
“Bener tuh,” sambung Elang sambil sedikit membungkuk, menunjuk layar lain yang menampilkan file ekskul dari batch sebelumnya. “Minimal, kita tahu lah sistemnya kayak apa. Guru siapa aja yang ngajar, topik apa yang mereka tekankan, dan... kemungkinan siapa aja yang bakal ‘dipilih’.”
Hanum melepas headset-nya, menoleh dari sofa. “Tapi nggak semua anak ekskul itu masuk ke list ‘penjualan’ kan?”
“Enggak. Makanya seleksinya ketat dan tertutup,” jawab Tito. “Biasanya anak kelas 12 yang diambil cuma yang masuk shortlist. Dan nggak semua diseleksi di awal. Mereka pantau dulu dari kelas sepuluh semester pertama.”
Nadine bangkit dari duduknya, berjalan pelan ke meja kerja, menaruh catatannya. “Tadi di video tahun lalu, gue nemu satu anak yang tiba-tiba nggak ada lagi di sesi latihan akhir semester. Namanya Ranu Saputra. Ada di list peserta Olimpiade tahun lalu, tapi abis pertengahan semester dua... hilang. Bahkan di album kelulusan, wajahnya nggak ada.”
Hanum ikut berdiri. “Gue cek tadi di album alumni, nama dia juga nggak tercatat.”
Helmi terdiam. Untuk sesaat, tidak ada suara kecuali bunyi kipas dari CPU Tito yang terus bekerja. Wajah-wajah di ruangan itu berubah serius.
“Apa yang lo mau gue lakuin?” tanya Helmi akhirnya.
Tito menoleh, wajahnya tegas tapi tak menekan. “Lo jadi mata dan telinga kita di dalam.”
“Lo bantu kita dari ‘dalam kandang’, Mi,” tambah Elang pelan. “Karena kita yakin... monster itu hidupnya di sana.”
Helmi terdiam cukup lama setelah mendengar pernyataan Elang barusan. “Dalam kandang, ya…” gumamnya, lalu menghela napas panjang. “Oke. Gue bakal coba ngorek informasi lebih dalam dari Farel sama Airin. Tapi kalau gerak gue mulai dicurigai—”
“Lo mundur,” potong Hanum cepat, nadanya lembut tapi jelas. “Kita cari jalan lain. Kita nggak pengin kehilangan siapa pun lagi.”
***