“Selamat sore semuanya!” suara MC menggema ceria, membangkitkan semangat para peserta dan pendukung yang sudah duduk rapi di bangku masing-masing. “Akhirnya… waktu yang kita tunggu bersama telah tiba!”
Beberapa tepuk tangan terdengar, disusul gumaman pelan dan bisik-bisik antusias dari pendukung masing-masing sekolah.
“Setelah melalui ujian teori, praktikum, dan studi kasus yang menantang,” lanjut MC, “kini enam tim terbaik dari seluruh Indonesia akan menunjukkan kepada kita semua—sejauh mana mereka bisa berpikir, berargumen, dan bekerja sama. Karena... menjadi juara bukan hanya soal nilai tertulis, tapi juga bagaimana kalian memahami dan menyampaikan!”
Lampu panggung menyala lebih terang. Enam tim duduk berjajar dengan tenang di sisi panggung. SMA Nirwana duduk di barisan ketiga, diapit SMA Cendekia Nusantara dan SMA Raden Tumenggung.
“Baik, kita mulai,” ucap MC lagi. “Untuk tim pertama, silakan maju ke depan… SMA 17 Agustus!”
Sorak sorai kecil dari barisan belakang terdengar. Tiga siswa dari SMA 17 Agustus berdiri, mengenakan jas almamater mereka dengan rapi. Salah satu dari mereka—seorang gadis berkacamata—melangkah ke kotak undian yang berada di samping panggung.
“Silakan ambil satu gulungan undian dari dalam kotak,” kata MC sambil tersenyum.
Gadis itu mengambil satu gulungan kecil dan menyerahkannya ke MC. MC membuka gulungan perlahan, membacanya sambil tersenyum lebar.
“Oke, kalian mendapat... Kasus 4!” serunya.
Beberapa pendukung dari sekolah itu bersorak pelan, memberi semangat.
“Waktu kalian untuk mempersiapkan presentasi dimulai sekarang. Dua puluh menit untuk menjelaskan secara rinci, terstruktur, dan logis. Silakan naik ke atas panggung.”
Ketiganya naik, menyusun bahan mereka, dan tak lama kemudian layar besar menampilkan “Case 4: Biochemical Reaction under Pressure Environment–with Applied Logic Simulation". Suara desahan kecil terdengar dari beberapa siswa yang merasa topik itu cukup berat.
Di sisi lain, tim SMA Nirwana saling melirik. Helmi duduk dengan punggung sedikit menegang, sementara Airin mengatur napasnya perlahan. Farel mengetuk-ketukkan jarinya di paha, mencoba tetap fokus.
“Kalau kita dapet yang kayak gitu, lo masih bisa ngejelasin dengan tenang, Mi?” tanya Airin pelan, sedikit bercanda.
Helmi mengangguk kecil. “Gue lebih takut sama yang pake data statistik. Tapi... kita siap.”
Satu per satu, presentasi berlangsung. Setiap tim maju, mengambil undian, membuka kasus yang didapat, lalu memaparkan jawaban mereka di depan para juri. Beberapa tampil percaya diri, beberapa gemetar. Tapi tak ada satu pun yang menyerah.
Saat giliran SMA Nirwana disebut, suara di tribun sedikit riuh.
“Tim terakhir, sekaligus tuan rumah yang kita banggakan,” seru MC sambil tersenyum. “SMA Nirwana, silakan maju ke depan!”
Helmi berdiri lebih dulu, diikuti Airin dan Farel. Langkah mereka mantap, meski sedikit gugup tergambar di wajah.
Helmi mengambil gulungan dari kotak undian, menyerahkannya ke MC dengan tenang.