Siang itu, matahari memancarkan panas yang tajam, menyengat kulit, memantulkan kilauan dari lantai lapangan basket yang sudah mulai memudar warnanya. Suara gemuruh langkah dan obrolan acak para siswa 12A memenuhi udara. Seragam olahraga sudah mulai tampak basah oleh keringat, bahkan sebelum pemanasan dimulai.
“Jujurly, gue masih nggak habis pikir sama jadwal olahraga kelas kita di siang bolong begini,” celetuk Dina sambil menutupi mata dari cahaya.
“Iya, njir,” sahut Ardi sambil mengikat rambutnya lebih kencang. “Kelas lain bisa dapet pagi. Lah kita? Tiap pagi mabok hitungan, siangnya disuruh olahraga.”
“Otak panas, tubuhnya disuruh lebih manasin,” tambah Iqbal, mengibas-ngibaskan bajunya yang menempel di punggung.
Beberapa anak duduk-duduk di tepi lapangan, pura-pura stretching sambil mengeluh dalam tawa. Di tengah suasana panas dan santai itu, tiba-tiba dari arah ruang peralatan olahraga, datanglah Pak Rahmat dengan gaya khasnya santai, bertopi lebar, berkacamata hitam, sambil mendorong trolli berisi bola basket.
“Wih, boss kita datang,” bisik Nadine pelan ke Hanum yang duduk di sebelahnya.
Pak Rahmat berhenti di tengah lapangan, lalu berseru lantang, “Selamat siang, para pejuang kurikulum merdeka!”
“Selamaaaaat siiiaaaaang, Paaaak!” serentak jawaban siswa yang sebagian besar setengah lemas dan setengah menyerah.
“Wah, kayaknya semangat kalian udah setengah dikubur matahari, ya?” Pak Rahmat tertawa kecil, lalu menaruh clipboard-nya. “Tapi namanya juga hidup, kadang kita nggak bisa milih cuaca, yang bisa dipilih itu semangat kalian.”
Terdengar tawa kecil. Beberapa anak langsung berdiri tegap. Pak Rahmat membuka trolli dan mulai melempar bola ke beberapa siswa.
“Oke, kita mulai dengan pemanasan ringan dulu. Dua putaran keliling lapangan, terus dynamic stretching. Abis itu... kita main. Tahu nggak main apa hari ini?”
“Basket, Pak?” jawab beberapa murid asal.
“Bukan. Hari ini kita main ‘3 on 3 Mystery Draft’.”
“Haah?” sebagian besar siswa mengernyit, termasuk Helmi yang tadinya diam-diam berdiri di belakang barisan.
“Jadi gini,” lanjut Pak Rahmat dengan gaya teatrikal, “kalian bakal saya acak jadi tim 3 orang. Nama-namanya sudah saya tulis dan kocok. Satu tim cowok-cewek acak bebas. Tim yang menang akan dapat... nilai ekstra dan snack di akhir pelajaran. Tim yang kalah? Push-up 30 kali. Deal?”
“GASSSS!!!” teriak Tito langsung menyambut, “Pak, kalo bisa bonusnya Indomaret card ya...”
“Kamu pikir saya siapa? Manajer Indomaret?” Pak Rahmat tertawa lepas.
Elang melirik Helmi di sebelahnya, lalu menyikut bahunya pelan. “Kalau kita satu tim, Mi, lo bagian strategi ya. Gue rebound, lo shooting.”
Helmi nyengir kecil. “Asal jangan suruh gue lari-lari doang.”
Hanum yang duduk di pinggir lapangan langsung bangkit semangat. “Kalau gue sama Nadine satu tim, gue bagian provokasi, dia yang gaya.”
“Fix, kita menang karena lawan ketawa sampe nggak bisa ngeblok,” sahut Nadine sambil cekikikan.
Dan begitu nama-nama mulai dibacakan, lapangan itu pun berubah jadi arena mini penuh semangat. Tawa, teriakan, dan semangat bersaing mulai terasa. Di balik panas siang yang menyengat, 12A kembali menunjukkan warna mereka yang khas, serius tapi pas mata pelajaran serius aja.
Suasana lapangan semakin riuh. Sinar matahari yang tak kenal ampun seakan kalah terang dengan semangat dan tawa para siswa 12A siang itu. Meskipun sebagian besar dari mereka masih ngos-ngosan setelah lari keliling lapangan, mereka tetap bisa melemparkan candaan, terutama ketika pengumuman dari Pak Rahmat tadi memicu gelombang kehebohan kecil.
“Karena kemarin Helmi sudah menjadi anak emas sekolah,” ujar Pak Rahmat dengan gaya dramatis di depan barisan, “untuk kelas saya, nilai kamu langsung A. Silakan berdiri di sebelah saya, dan kamu menjadi asisten saya hari ini, tanpa mengikuti olahraga seperti teman-teman kamu, Helmi.”
Semua kepala sontak menoleh ke arah Helmi, yang baru saja selesai menyeka keringat dari pelipisnya. Ia terdiam sejenak, tak yakin harus senang atau malu. Tapi reaksi teman-temannya tak memberinya waktu berpikir lama.
“Buset, enak banget lo, Mi!” celetuk Tito, suaranya lantang dan penuh protes bercanda.
“Ini mah beneran definisi ‘sakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian!’” timpal Nadine sambil bertepuk tangan pelan, setengah menggoda.