Hari Minggu pagi ini, SMA Nirwana tampak lebih hidup dari biasanya. Meski bukan hari belajar, suasana sekolah ramai dipenuhi suara riuh dan sorak-sorai yang mulai memanas di sekitar lapangan basket utama. Hari ini ada pertandingan sparing basket antara SMA Nirwana melawan SMA Wijaya—dua sekolah yang sudah lama dikenal saling bersaing dalam setiap kompetisi.
Namun di balik sorak-sorai dan aroma semangat anak remaja yang membanjiri tribun, lima orang siswa dari kelas 12A sedang menjalankan misi mereka. Misi yang menyamar di balik hiruk pikuk pertandingan—membongkar sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perebutan piala basket.
Tugas mereka sudah dibagi dengan rapi.
Nadine hari ini tampil bak seorang pengawal. Sebagai sekretaris OSIS, dia mengawal Sadewa, sang ketua OSIS, memastikan semua penonton tertib, terutama para siswi yang sudah mulai saling sikut demi duduk di posisi strategis untuk menatap idola mereka: Elang Lavendra.
Sementara itu, Elang berjalan menggandeng tangan Hanum. Sebuah pemandangan yang segera membuat gempar tribun barisan depan. Elang yang biasanya dingin dan tak pernah terlihat menggandeng siapa pun kini muncul bersama Hanum, murid cewek paling misterius yang akhir-akhir ini banyak diam.
“Lang? Akhirnya…” Harfi, kapten basket Nirwana, menyambut dengan senyum lega. “Gue seneng lo bisa dateng lagi.”
“Gue ngerasa udah kelewatan aja kemarin. Maaf,” sahut Elang dengan nada yang datar tapi jujur. Lalu, ia menoleh ke samping, menatap Hanum, sebelum kembali menatap Harfi. “Tapi sorry juga, gue bawa ini.”
Hanum tersenyum tipis, sedikit mengangguk. Ia tahu perannya hari ini bukan sekadar jadi bayangan Elang. Ia akan jadi perisai. Bukan hanya dari siswi-siswi yang mungkin mencari kesempatan mendekati Elang, tapi juga dari risiko kecurigaan—karena tempat duduknya nanti akan menghadap langsung ke arah ruang ekskul Olimpiade, lokasi target utama mereka hari ini.
“Hanum, kan? Gue tahu kalian udah…” Harfi mencoba menebak.
“Udah, nggak usah dibahas,” potong Elang cepat. Fokusnya tetap pada permainan, bukan gosip.
Namun seperti yang sudah diduga, bisik-bisik itu tetap tak bisa dicegah. Ketika Elang dan Hanum duduk berdampingan di tribun pemain, beberapa suara dari siswi-siswi penonton mulai berbisik tak santun.
“Ih masa sih Kak Elang beneran pacaran sama Kak Hanum?”
“Bukannya mereka cuma temen sekelas?”
“Kemarin-kemarin nggak sedeket ini deh...”
“Tapi diliat-liat cocok juga sih.”
“Enggak ya, Kak Elang tuh lebih cocok sama gue...”
“Ya masalahnya Kak Hanum juga cantik, Njir.”
“Tapi cantikan gue nggak sih?”
“Lo di sini sekarang aja udah kalah langkah sama Kak Hanum di sana, anjir.”
“Ihh beda tau, itu Kak Hanum pasti yang modus.”
“Apa iya ya? Secara Kak Elang udah lama nggak ikut basket, ini pasti aji mumpung.”
Bisik-bisik itu terdengar jelas oleh Nadine yang berada tidak jauh dari mereka, menjaga Sadewa. Ia menoleh sekilas, ingin sekali menyumpal satu-satu mulut mereka dengan lem super permanen. Tapi Nadine Keithara tetap Nadine—terlalu elegan untuk menanggapi ocehan remaja tanggung. Ia hanya mengangkat dagunya sedikit, tersenyum tipis penuh sindiran, lalu kembali menatap lapangan.
Sementara itu, di sisi utara lapangan, dua sosok dengan penampilan mencurigakan berdiri membelakangi tribun. Tito mengenakan hoodie hitam dan tudung yang hampir menutupi wajahnya. Di sampingnya, Helmi mengenakan topi dan masker medis. Sekilas mereka tampak seperti siswa dari sekolah lain—dan memang itu penyamarannya.
“Airin ikut ekskul juga hari ini?” bisik Tito, matanya sesekali melirik ke arah gedung ekskul Olimpiade yang terletak agak terpisah.
“Iyalah,” jawab Helmi pelan. “Dia udah masuk kelas intensif buat jalur beasiswa. Wajib hadir tiap sesi.”
“Ya mana gue tahu, kan gue nggak pernah gabung ekskul olim,” gumam Tito, berusaha santai meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak terdengar dari arah lorong samping.
“Bu Asti,” bisik Helmi cepat.
Mereka langsung menyesuaikan posisi. Helmi berpura-pura memotret langit-langit bangunan dengan ponselnya. Tito mengangkat ponselnya ke telinga, berbicara kosong, pura-pura sibuk menelpon.