Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #27

Stage-21

Sudah hampir satu jam berlalu sejak Helmi dan Tito menyelinap ke gazebo kecil yang berada tak jauh dari gedung timur—tempat ruang ekskul olimpiade berada. Meja kayu di depan mereka kini penuh dengan sisa bungkus makanan: mulai dari siomay, roti panggang, tahu crispy, hingga dua gelas kopi dingin yang hanya tersisa es batunya.

“Pesen makan apalagi ya?” gumam Tito sambil menggulir-gulir aplikasi makanan online di ponselnya. Tangannya bergerak cepat seperti sudah hafal tiap menu favorit.

Helmi menatap meja di depannya, mengangkat alis sambil menyelipkan senyum. “Baru sejam, To. Tapi kita udah kayak buka warung. Ini beneran operasi rahasia atau konten mukbang sih?”

Tito hanya nyengir tanpa merasa bersalah. “Nggak bisa mikir kalo perut kosong, men.”

Namun, tawa kecil mereka langsung menguap ketika suara pintu terbuka terdengar dari arah gedung. Serentak, mereka menoleh. Seorang wanita berseragam rapi dengan rambut disanggul ketat melangkah keluar dari ruangan—Bu Asti.

Wanita itu memegang ponsel di telinganya, suaranya terdengar cukup jelas karena tak ada suara lain di sekitar.

Helmi dan Tito langsung refleks merunduk, menempel di sisi gazebo, menyembunyikan diri di balik pilar kayu dan tanaman rambat kering yang menggantung. Mereka saling melempar pandang sejenak, lalu memfokuskan telinga mereka.

“Iya, Pak. Memang hari ini sekolah sangat ramai dari biasanya. Anak basket sedang ada sparing dengan Wijaya,” kata Bu Asti sambil berjalan pelan.

“….”

“Iya, kami tetap melakukan kelas intensif itu. Mengingat sebentar lagi akan ujian tengah semester, nama mereka akan kami input sesuai arahan Bapak.”

“….”

“Maaf, Pak. Untuk saat ini kami belum bisa memastikan siapa saja yang terpilih. Apalagi melihat masih ada banyak nama yang kami yakin memenuhi kriteria… tapi tidak terdaftar sebagai anggota ekskul olimpiade ini, Pak.”

Tito mencatat cepat di ponselnya. Helmi menegang. Nama yang tidak terdaftar? Input nilai? Maksudnya… penilaian di luar administrasi resmi?

“….”

“Baik, Pak. Saya akan usahakan dengan baik. Saya pastikan, sebelum semester genap nanti, nama mereka sudah terdaftar secara lengkap.”

“….”

“Baik, Bapak. Baik. Saya akan mengusahakan yang terbaik.”

Klik.

Telepon ditutup. Bu Asti sempat menoleh ke sekitar, dan Helmi menahan napasnya.

Tito nyaris memekik saat semut merah menggigit kakinya, tapi Helmi buru-buru mencubit lengan temannya, memberi sinyal agar tetap diam.

Begitu langkah Bu Asti menjauh dan pintu kembali tertutup, keduanya langsung beranjak dari tempat duduk mereka, menyingkirkan bungkus makanan seadanya.

“Ke lapangan,” bisik Helmi cepat.

Tito hanya mengangguk, menunduk sambil menyembunyikan wajah di balik hoodie-nya. Mereka berjalan cepat, memutar lewat lorong samping menuju tribun, menyatu bersama keramaian para siswa yang tengah menonton pertandingan basket.

Meski dari luar mereka terlihat seperti dua penonton biasa, di dalam kepala mereka, informasi barusan berputar cepat. Nama-nama yang tidak terdaftar… kelas intensif rahasia… dan peran misterius Bu Asti.

Ada yang lebih besar dari sekadar ekskul olimpiade. Dan mereka baru saja menyentuh permukaannya.

***

Lihat selengkapnya