“Jadi maksud lo,” Nadine bersuara, duduk bersila di karpet ruang tengah apartemennya sambil memeluk bantal. “Bu Asti masih punya target lain selain anak-anak Olim kelas 12?”
“Apalagi?” sahut Tito cepat, nada suaranya tegas. “Jelas-jelas beliau bilang kalau ada beberapa orang yang masuk kriteria, tapi nggak tergabung ekskul.”
Elang yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat, mengernyit. “Tunggu, ini target dalam artian... yang bakal ‘dipilih’ itu?”
Helmi mengangguk pelan. Ia duduk di kursi makan dengan satu kaki disilangkan, tubuhnya agak condong ke depan seolah ingin semua orang menangkap maksudnya. “Iya. Dari nada bicaranya tadi, seolah mereka punya semacam ‘draft’ kandidat. Entah dari nilai akademik, aktivitas, atau... apapun yang jadi parameter mereka.”
Hanum yang duduk bersandar di sisi sofa, menatap mereka satu per satu. “Tapi itu berarti... nggak semua yang masuk daftar itu sadar mereka lagi dipantau?”
“Most likely enggak,” jawab Helmi. “Dan itu yang lebih ngeri.”
Nadine menggigit bibirnya, mencoba memproses semua info. “Tapi kalau mereka memang nggak ikut ekskul, gimana cara pantau mereka?”
“Guru,” jawab Tito. “Guru wali, guru mata pelajaran, bahkan pembina ekskul lain. Mungkin aja mereka sengaja kasih laporan ke tim penyeleksi. Lo lupa? Bu Asti bilang, ‘akan kami input sesuai arahan bapak’. Artinya dia nggak ambil keputusan tunggal. Dia sekadar perantara.”
“Input ke mana?” tanya Elang.
Helmi dan Tito saling pandang.
“Belum tahu,” kata Helmi akhirnya. “Tapi gue rasa itu bukan sekadar ke sistem nilai sekolah. Ada jalur informasi lain yang kita belum tahu. Mungkin... langsung ke pihak beasiswa. Atau...” dia berhenti sebentar, menatap kosong. “...tempat yang lebih tinggi dari itu.”
Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara kipas angin gantung yang berputar lembut di atas mereka.
Nadine memeluk bantalnya lebih erat. “Jadi kalau gitu... siapa aja yang kira-kira masuk daftar mereka?”
“Itu dia, kita aja nggak pegang data siapa aja kelas 12 yang sekarang masuk ekskul olimpiade? kecuali…” Hanum menggantungkan ucapannya, membuat empat orang temannya menunggu.
“Kecuali apa?”
“Airin dan Farel. Kita punya mereka kan?” lanjut Hanum menatap Helmi penuh harap.
“Lagi?” kata Helmi pelan.
“Nggak ada pilihan lain kan? Kayaknya emang cuma mereka yang kita punya sekarang. Kalau mereka bisa buka suara, kita lumayan tuh punya info baru,” lanjut Elang.
Tito berdiri sambil menyeimbangkan gelas minumnya di atas kepala. “Kalau mereka nggak mau, bakal jadi masalah lagi,” katanya dengan nada serius walau gayanya nggak mendukung, “kita nggak punya akses lebih ke ekskul olimpiade dari dalam.”
“Ya karena kita juga nggak mau ambil risiko segede itu, njir,” sahut Elang. “Siapa sih yang mau lompat ke jurang langsung? Bisa-bisa malah kita yang diculik, bukan nyelamatin orang.”
“Terus, kita mau gimana dong?” tanya Nadine, menyandarkan dagunya di lutut, frustasi. “Nunggu aja sampai ada korban selanjutnya?”
Semua kembali hening. Sampai Hanum yang dari tadi terlihat sibuk membuka-buka catatannya, tiba-tiba menatap mereka satu-satu. “Bentar,” katanya pelan. “Kalian masih inget Ranu Saputra, kan?”
Mereka mengangguk.
“Gimana kalau... kita mulai dari dia?”
“Elaborasi,” kata Helmi cepat, langsung duduk tegak.
“Kita cari data dia di perpustakaan,” jelas Hanum. “Kalau nama dia sempat masuk daftar peserta olimpiade dan kelas 12 Nirwana, pasti ada rekam jejaknya—entah nilai, nama wali murid, atau alamat rumah.”