Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #29

Stage-23

Angin sore berembus pelan di rooftop SMA Nirwana, membawa aroma matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Elang dan Tito sudah berada di sana sejak bel pulang, duduk bersandar di dekat pagar pembatas sambil menatap langit yang mulai bergradasi jingga. Di antara mereka tergeletak satu botol minum dan dua kotak bekal yang tinggal separuh isi.

Langkah cepat terdengar dari tangga darurat. Hanum muncul lebih dulu, napasnya sedikit terengah, diikuti Helmi dan Nadine yang langsung menutup pintu besi di belakang mereka.

“Lang! To!” seru Hanum.

Tito menoleh. “Eh, cepet amat kalian—”

“Kita butuh akses komputer TU,” potong Hanum cepat. “Sekarang.”

Tito mengerutkan dahi. “TU? Lo yakin?”

“Gue mikir,” lanjut Hanum sambil duduk di pagar semen, “kalau semua data yang kita cari—alumni, kelulusan, bahkan status murid aktif dan yang pernah dikeluarkan—itu semua pastinya nggak nyangkut di lab komputer biasa. Komputer TU punya riwayat lebih panjang.”

“Dan lebih dalam,” tambah Helmi sambil duduk di dekat Tito. “Paling nggak, kita bisa akses database siswa dari awal sekolah ini berdiri.”

Wait wait...” Elang mengangkat tangannya, menengahi. “Lo pikir kita bisa masuk ke ruang TU gitu aja?”

Hanum mengangkat alis. “Gue nggak bilang gitu. Tapi... kalau gue bisa masuk ke sana, bisa nggak lo—” ia menunjuk Tito, “—bantu nyedot semua data yang kita butuhin?”

Tito langsung duduk tegak, matanya berbinar penuh antusias. “Kalau lo bisa kasih gue akses minimal ke satu port komputer mereka, sisanya bisa gue handle dari sini. Lo tinggal colokin satu kabel atau flashdisk khusus, dan... boom, semua file bisa gue tarik ke sistem mirroring.”

“Lang...” Nadine menoleh ke cowok itu. “Lo bisa bantu pantau jalur TU dari CCTV? Kita kan udah punya akses sistem keamanan sekolah, kan?”

Elang mengangguk pelan. “Gue bisa akses blueprint bangunan lama. Tapi butuh waktu lama. Karena ruang TU itu lebih sensitif dari ruang guru.”

“Gue tahu,” kata Hanum sambil menatap satu per satu wajah temannya. “Minggu depan OSIS buka pendaftaran anggota baru kan, Nad? Kita bisa pakai cara itu. Gimana caranya biar kita bisa pakai komputer TU? Entah lo pura-pura pinjem printer atau apa kek. Bisa, Nad?”

Nadine mengangguk pelan, memutar bolpoin di tangannya. “Bisa. Tapi lo harus bantu gue rusakin dulu printernya. Gue nggak mungkin nyari alasan kalau semua alat OSIS masih berfungsi normal.”

“Gue bantu rusakin dari dalam,” timpal Tito cepat, penuh antusias. “Besok pagi, sebelum bel masuk. Lo bisa jamin nggak ada yang tahu?”

“Gue pegang kunci cadangan ruang OSIS kok,” jawab Nadine santai, seakan menyampaikan hal sepele. “Sadewa juga biasanya baru dateng mepet jam delapan. Kita bisa masuk dari jam 6 pagi.”

Nice, berarti tinggal lo pasang script-nya pas nanti di komputer TU, kan?” Elang ikut angkat suara, nada suaranya serius.

“Iya, file-nya udah gue siapin. Nanti pas lo pront berkas OSIS, buka juga file yang udah gue taruh di flashdisk lo, Nas. Cepet kok.” Tito tampak percaya diri. “Yang penting printer TU bisa dipakai dengan alasan yang kuat.”

Helmi yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara, “Komputer TU itu jalan terus dari dulu. Bisa jadi kita nemu data anak-anak lama, kayak si Ranu Saputra. Termasuk pola siswa yang pernah masuk seleksi tapi tiba-tiba hilang.”

“Berarti… ini langkah penting. Kalau berhasil, kita bakal nemu jejak yang selama ini nggak kelihatan.” Elang menyandarkan punggungnya ke sofa. “Ini bukan cuma soal ekskul, tapi sistem.”

“Kita perlu pastiin yang kita lakuin nggak ninggalin jejak mencurigakan,” kata Hanum mengingatkan. “Sekali salah langkah, selesai semua.”

“Santai. Gini-ginian udah kayak sarapan buat gue,” Tito nyengir, memainkan flashdisk di jarinya.

Nadine memandang teman-temannya satu per satu, lalu mengangguk tegas. “Oke, besok pagi. Gue buka akses. Tito rusakin printer. Gue yang nyiapin alibi. Setelah itu, kita tunggu hari pendaftaran, dan main sesuai rencana.”

Lihat selengkapnya