Langit mulai berubah jingga saat Hanum dan Cheryl melangkah masuk ke halaman rumah baru Bella yang terletak di sudut kompleks perumahan mewah. Aroma kayu baru dan taman yang masih segar menguar dari setiap sudut bangunan berarsitektur minimalis-modern itu. Di depan pintu, Bella sudah berdiri sambil tersenyum lebar, mengenakan dress lengan pendek berwarna hijau sage yang membuatnya terlihat makin cerah.
“Welcome to my humble palace!” seru Bella dramatis, membuka kedua tangannya begitu melihat Hanum dan Cheryl.
Cheryl langsung memeluk Bella erat.
“Gile lu, Bell! Ini rumah apa butik skincare sih? Wangi banget sumpah!”
“Bener banget. Kayak masuk ke Pinterest hidup,” timpal Hanum sambil menaruh totebag-nya di dekat rak sepatu.
Mereka bertiga tertawa lepas, lalu masuk ke dalam rumah yang masih dalam tahap penataan akhir untuk acara syukuran malam nanti. Beberapa kursi masih dibungkus plastik, dan di sudut ruangan sudah terlihat nampan-nampan berisi camilan dan dus berisi souvenir.
“Gue seneng banget kalian dateng. Sumpah, asli!” kata Bella sambil berjalan menuju dapur terbuka. “Tadi pagi sempet takut kalian batal karena sibuk banget minggu ini.”
Karpet bulu abu-abu sudah rapi terbentang di tengah ruangan. Hanum menjatuhkan dirinya ke atas karpet, disusul Cheryl yang langsung selonjoran sambil memainkan untaian lampu LED kecil yang akan dipasang malam nanti. Bella duduk bersila di antara mereka sambil membetulkan tatanan bantal sofa yang berwarna senada.
“Jadi,” ujar Hanum, membuka obrolan, “apa alasan nyokap lo milih perumahan di sini? Bukannya malah makin jauh dari sekolah lo sama adik lo juga?”
Bella menghela napas panjang sebelum menjawab, “Yah... sebenernya tanah ini tuh warisan dari neneknya bokap. Udah lama banget nganggur, dan katanya daripada dijual, mending dipakai sendiri. Nyokap juga setuju karena... ya, mereka udah sepakat buat hidup lebih tenang. Punya rumah tetap. Nggak nomaden lagi nyoba bermacam-macam kontrakan.”
“Oh... jadi beneran stop pindah-pindah lagi?” Cheryl menoleh penasaran.
“InsyaAllah. Ini rumah ke-empat gue dalam lima tahun terakhir, lho,” kata Bella sambil mengangkat empat jarinya, “dan gue udah capek ganti-ganti tetangga. Muka satpam komplek aja belum sempat gue kenal, udah pindah lagi.”
Hanum tertawa pelan. “Pantes tiap kali disuruh tulis alamat di formulir, lo selalu nanya RT-RW berapa.”
“Gue tuh paling benci formulir,” Bella menatap langit-langit rumahnya. “Tapi ya... di rumah ini, akhirnya gue bisa ngerasa kayak punya ‘base camp’. Ada tempat pulang yang... beneran rumah.”
Cheryl tersenyum simpul. “Seneng denger lo ngomong gitu. Ini pertama kalinya lo cerita soal rumah dengan ekspresi kayak gini.”
“Iya, Bell,” tambah Hanum sambil menyandarkan badannya ke sofa, “semoga di rumah ini, hidup lo makin stabil ya. Stabil emosional, stabil akademik, stabil finansial—”
“Stabil cowok juga?” celetuk Cheryl cepat.
“Eh jangan! Stabil itu biasanya datar. Gue maunya naik-naik roller coaster cinta,” Bella menggoda sambil memelototkan mata dramatis.
“Yah, tapi kalau urusan cinta, lo masih ngalahin kita semua sih, Bell,” kata Hanum sambil mengedip.
Bella menaikkan alis, “Maksud lo... si Vito?”
“Doi masih ngechat lo tiap minggu nggak?” Cheryl menggoda, ikut duduk tegak penuh antusias.
“Masih...” Bella mengangkat bahu. “Tapi ya gitu. Dia sekarang di Bandung, gue di sini. Lagian... belum prioritas juga sih.”