Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #32

Stage-26

Langit malam itu tampak jernih. Cahaya bulan menyorot lembut ke halaman rumah Bella yang masih terasa hangat oleh jejak syukuran tadi. Para tamu sudah pulang, sebagian keluarga Bella juga sudah masuk ke dalam. Hanya tersisa beberapa orang, termasuk Cheryl dan Hanum yang tengah berdiri di pinggir jalan dekat mobil.

“Lo beneran nggak pulang sama gue aja?” tanya Cheryl, baru saja menutup bagasi mobil setelah memasukkan beberapa kotak bawaan titipan dari mama Bella.

“Gue dijemput kok, bentar lagi dateng,” jawab Hanum sambil mengecek layar ponselnya yang baru saja menerima pesan singkat bertuliskan “Lima menit lagi. Tunggu di depan ya.”

“Lo udah bilang bokap lo kan, kalau mau nginep di apart Nadine?” tanya Cheryl lagi, nadanya masih seperti kakak waspada.

Hanum menghela napas pendek. “Iyaaa Cheryl, bokap sama nyokap ngizinin kok. Lagian besok juga Sabtu.”

“Yaudah, gue tungguin sampe Nadine datang deh.”

“Nggak usah juga sih sebenernya...” Hanum mencoba menggiring Cheryl kembali ke dalam, tapi langkahnya terhenti saat terdengar suara mobil mendekat dari ujung jalan.

Lampu depan mobil menyala terang sesaat sebelum berhenti tepat di depan rumah. Dari balik kaca, terlihat sosok yang sangat mereka kenal.

“Loh, dijemput Elang?” suara Bella terdengar dari arah teras. Ia duduk santai sambil menggenggam gelas berisi teh hangat. Di sebelahnya, Andre menoleh sekilas ke arah mobil, lalu kembali mengalihkan pandangannya tanpa komentar.

Hanum menoleh sambil tersenyum kecil. “Iyaa, nggak mungkin juga jam segini Nadine yang nyetir sendiri,” katanya, membuka pintu penumpang.

“Ohh... kalian lagi misi ya?” tebak Bella setengah berbisik, separuh bercanda.

“Iyaa, doain cepet selesai dong.” Hanum menjawab sambil melempar pandangan sekejap pada Bella, lalu Cheryl.

Bella bangkit, menghampiri Hanum sebelum dia benar-benar masuk ke mobil. “Han,” panggilnya pelan.

“Hmm?”

Bella menatap gadis itu serius. “Apapun yang lo lakuin sekarang, jangan lupa amanin diri sendiri ya? Mau gimana pun, yang lo lawan itu lebih tinggi dari kalian. Jangan sampai... kalian salah langkah.”

Hanum terdiam sejenak. Ucapan Bella tidak berlebihan—justru realistis. Tapi justru karena itu, tekadnya makin kuat. “Makanya gue nggak jalan sendiri,” jawabnya pelan. “Gue punya orang-orang yang nggak akan biarin gue jatuh sendirian juga.”

Bella mengangguk pelan. “Good. Just promise me satu hal—kalau mulai bahaya, tarik mundur. Jangan tunggu terluka dulu.”

“Gue janji.”

“Sip. Biar gue yang doain lo malam ini, lo tinggal fokus.”

Thanks, Bel.”

Hanum pun masuk ke mobil. Elang yang duduk di kursi kemudi menatapnya cepat, lalu kembali fokus ke jalan.

***

Udara malam sedikit dingin, tapi suasana di dalam apartemen justru terasa panas oleh jeritan dan gelak tawa tertahan. Lampu ruang tengah dimatikan total, menyisakan cahaya redup dari layar TV yang sedang memutar film horor. Suara dentuman piano dan tawa anak kecil dari film itu mengisi ruangan yang gelap gulita.

Tito duduk dengan sarung motif kotak dan kaos merah merona, memeluk guling erat-erat. Nadine, diapit oleh Tito dan Helmi yang mengenakan piyama One Piece, terus-menerus menjerit kecil sambil menutup wajahnya dengan bantal, lalu mengintip lewat sela-sela.

Lihat selengkapnya