Project of 12-A

Firsty Elsa
Chapter #33

Stage-27

Pagi itu, Elang berada di ruangan yang sama sekali tak ia inginkan. Kalau bukan karena misinya, ia pun tak akan pernah mau masuk ke ruangan ini. Ya, ruang kerja ayahnya—Arya Mahadewa.

Ruangan itu luas, dengan dinding kayu jati dan rak penuh buku hukum, ekonomi, serta berkas-berkas perusahaan yang tersusun rapi. Sebuah lukisan besar keluarga Mahadewa menggantung di sisi ruangan, seolah-olah mengingatkan Elang pada masa kecilnya yang dulu sempat hangat sebelum semua menjadi dingin.

Elang menggenggam erat ponselnya. Ia sudah menghubungi Alfa, asisten pribadi ayahnya, agar mengatur pertemuan ini. Tanpa peran Alfa, mungkin Arya Mahadewa bahkan tak akan memberi waktu. Hubungan mereka memang jauh dari kata akrab. Kalau pun ada acara besar bersama kolega perusahaan, Elang biasanya datang hanya untuk menghormati ibunya. Itu pun terasa terpaksa, karena ia tahu siapa ayahnya sebenarnya—seorang penguasa dingin yang lebih memilih perusahaan ketimbang keluarganya.

“Elang.” Suara berat dan tegas itu memanggilnya. Arya Mahadewa berdiri di depan mejanya, jas hitamnya terpasang sempurna, wajahnya seperti tanpa ekspresi.

Elang menarik napas dalam. “Saya… ada hal penting yang harus saya selesaikan.”

“Bicara.” Ayahnya tak menawarkan senyum, bahkan sekadar basa-basi.

Elang maju dua langkah. “Saya butuh akses. Data pribadi atas nama Ranu Saputra.”

Alis Arya terangkat. “Untuk apa?”

“Anggap saja… proyek pribadi.”

Arya tertawa pendek, getir. “Proyek pribadi? Kamu pikir saya ini penyedia data gratisan untuk anakku sendiri yang bahkan jarang pulang?”

Elang mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ia tahu, berbicara dengan ayahnya selalu seperti melawan tembok baja. Tapi kali ini ia tidak bisa mundur.

“Ini penting, Ayah. Sangat penting. Dan saya tidak punya jalur lain kecuali lewat Anda.”

Ruangan mendadak hening. Detik jam dinding terdengar begitu jelas. Arya Mahadewa menatap putranya lama, seperti menimbang apakah Elang benar-benar serius atau hanya sekadar cari perhatian.

“Baiklah.” Suaranya akhirnya terdengar, dingin tapi pasti. “Saya bisa carikan. Tapi Elang… jangan pikir saya bodoh. Kalau kamu meminta sesuatu sebesar ini, artinya kamu sedang main api.”

Elang menahan tatapan ayahnya. “Saya sudah lama main api, Ayah. Bedanya, sekarang saya mau api itu padam dengan cara saya.”

Senyum tipis muncul di sudut bibir Arya—bukan senyum hangat seorang ayah, melainkan senyum sinis seorang predator yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik.

“Kalau begitu,” kata Arya, “anggap saja ini hutang. Hutang seorang anak kepada ayahnya. Untuk pelunasannya, kita bicarakan lain waktu. Bagaimana?”

Elang menatap dingin ayahnya. Ia tahu, ada hal lain yang diinginkan ayahnya dari dirinya—sebagai anak tunggal, pewaris satu-satunya. Negosiasi ini bukan hanya soal data, melainkan jebakan yang bisa mengikatnya lebih dalam ke dunia yang selama ini ia hindari. Tapi Elang tak punya pilihan.

Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Apapun itu. Tapi saya hanya butuh datanya ada dalam waktu kurang dari 24 jam. Bagaimana?”

Arya menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Senyum yang tidak pernah menenangkan. Arya seperti melihat cerminan dirinya sendiri. Duduk bertatapan dengan dirinya sendiri.. Dingin, tajam, penuh perhitungan.

Arya lalu menoleh pada pintu. “Alfa.”

Asisten pribadinya masuk dengan cepat. “Ya, Pak?”

“Siapkan akses. Pastikan Elang menerimanya sebelum besok pagi.”

Alfa menunduk. “Siap, Pak.”

Elang menahan napas lega. Setidaknya, satu langkah besar sudah berhasil ia dapatkan. Tapi di balik itu, ia sadar—Arya tidak pernah memberi tanpa menuntut kembali.

Saat ia berbalik menuju pintu, suara ayahnya kembali terdengar.

“Elang,” panggil Arya tenang, namun menusuk. “Ingat, setiap utang harus dibayar. Kamu akan mengerti maksudku cepat atau lambat.”

Lihat selengkapnya