~Rafael~
Setelah seminggu tidak tampak batang hidungnya, akhirnya hari ini si gadis misterius itu muncul juga. Dia mengambil tempat duduk dipaling belakang dari kolom paling ujung dekat dengan jendela. Padahal ada satu tempat kosong yang tidak terlalu jauh dari papan tulis. Hari ini dia memakai sebuah jaket berwarna abu-abu dan dilengkapi dengan hoodie bertelinga kucing yang selalu menutupi mukanya. Walaupun begitu aku masih sempat melihat mukanya yang terkena cahaya matahari.
Garis mukanya terlihat begitu indah, hidungnya yang mancung dengan pipi yang lumayan tirus membuatnya terlihat sangat cantik. Bibirnya yang mungil dan tipis terlihat indah melengkapi kesempurnaan wajahnya. Tubuhnya begitu mungil dan sepertinya sangat pas untuk kupeluk.
Entah apa yang membuatku melihat kepadanya, tapi seperti ada sebuah gravitasi yang menarik mataku untuk selalu memperhatikannya. Sepertinya aku sanggup untuk menghabiskan hari dengan memandangi wajahnya. Saat ini dia sedang mendengarkan musik dari headphonenya yang berwarna hijau dominan disertai corak hitam dengan ditemani sebuah buku yang sangat tebal dan terlihat seperti novel. Dia terlihat sangat tenang dengan kegiatannya, dan menikmatinya. Dia sepertinya menyukai kesendirian dan tidak mementingkan orang sekitarnya. Dia mempunyai dunia yang berbeda denganku, yang membuat dirinya semakin menarik.
Aku memangil namanya, namun dia tidak mendengar sama sekali. Walaupun sudah mengeraskan suara dia tetap tidak bergeming. Menyerah dengan memanggilnya, aku mendekatinya dan akhirnya dia menyadari kedatanganku. Saat mata hitam pekat yang sangat menawan itu menatapku disertai dengan aroma tubuhnya yang berbau seperti bublegum, serasa dunia ini terhenti. Aku rasa aku ingin setiap hari dapat menatap matanya. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, tapi tatapan mata itu entah kenapa seperti sangat spesial bagiku. Serasa aku menanti-natikan tatapan matanya. Maybe this is love at first sight?
Dia hanya melihat ke arahku sebentar setelah itu kembali menatap novelnya. Dia sepertinya benar-benar tidak peduli akan sekelilingnya. And I really want that eyes looking at me again. Sekarang aku berdiri di depannya dan aroma bublegum itu semakin menguat sehingga membuyarkan konsentrasiku. Walau pun aku sudah berdiri di depannya dia tetap membaca novelnya dan mengacuhkanku. Aku bahkan sampai harus mengetuk mejanya agar mendapatkan kembali perhatianya.
Aku baru ingat bahwa dia mengenakan headphone untuk mendengarkan musik. Aku menarik hoodienya untuk menurunkan headphonenya, karena sepertinya dia tidak ingin berbicara denganku. Dia terlihat sangat marah dan risih saat aku menyentuhnya. Dia hanya menatapku lekat-lekat dan aku dapat membaca matanya 'apa yang kau ingin kan dariku?' kira-kira seperti itu pandangannya saat ini.
"Apakah kau membawa surat keterangan mengapa kau tidak masuk selama beberapa hari ini?" Tanyaku sebagai ketua kelas yang bertanggung jawab.
Dia tidak berkata sama sekali dan hanya menatapku lekat-lekat selama beberapa detik, setelah itu bergerak untuk mengambil surat keterangan di tasnya dan menyerahkannya kepadaku. Aku penasaran seperti apa suaranya karena dia tidak pernah berbicara sekalipun dihadapanku, dan ingin rasanya berlama-lama mengobrol dan mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Aku hanya mengetahui bahwa dia adalah wanita yang kuat. Ketika aku menemukannya pada saat mos, dia terlihat kuat dan dapat bertahan di waktu sulit. Walaupun akhirnya dia pingsan juga, tapi tetap saja dia terlihat sangat keren.
Aku pun kembali ke bangkuku tanpa bisa berbuat apa-apa lagi untuk tetap bertahan di sana. Pelajaran pun dimulai dan waktu terus berlanjut. Aku sempat membalikan kepala dan melihatnya selama beberapa kali. Bangkuku berada cukup jauh dengan tempat duduknya. Aku berada di kolom ke dua, dan barisan ketiga dari belakang. Kelasku cukup untuk empat kolom dan enam baris tempat duduk, di mana setiap orang duduk sendiri. Sehingga aku masih dapat melihatnya secara jelas.
Guru matematika pun masuk dan kelas dimulai. Matematika merupakan salah satu pelajaran yang aku sukai dan dapat aku kuasai. Menurutku matematika sama seperti sebuah teka-teki yang harus aku pecahkan dengan petunjuk-petunjuk yang merupakan rumusnya. Aku menyukai matematika karena misteri yang terdapat di dalamnya sangat banyak dan matematika sangat sulit untuk ditaklukan sehingga membuatku semakin semangat mengerjakannya.
Namun kali ini aku tidak dapat memperhatikan penjelasan guru di depan karena konsentrasiku sudah direbut oleh Andrea sejak pagi tadi. Beberapa kali aku menengok ke arahnya, dan dia sepertinya tidak menyadari tatapan mataku. Beruntungnya diriku karena dapat memandanginya sepuas yang aku mau.
Bel berbunyi, akhirnya aku dapat mengisi perut kosongku sekarang. Teman-temanku langsung memanggilku untuk makan di kantin sekolah. Tapi aku tidak langsung beranjak dari tempat dudukku, aku mengamatinya sebentar. Andrea sedang membereskan bukunya dan memasukannya kembali ke dalam tas, lalu dia mengeluarkan sekotak bekal dari dalam tasnya dan novel serta headphonenya dari loker.
Sepertinya dia menyukai sesuatu dengan warna hijau, karena hampir seluruh benda yang dimilikinya berwarna hijau. Dia memakai kembali headphonenya dan memakan bekalnya. Apa dia membuat bekal itu sendiri? Karena bekal yang dibawanya sangat lucu, dia menata isinya dengan sangat rapih. Bagaimana rasanya ya? What just I think...??? Stupid me!
"Revan.. Ayo!" Aldo memanggilku. Teman-teman memanggilku Revan atas permintaanku. Sebenarnya namaku Rafael Revan namun aku membenci nama depanku karena suatu hal pribadi yang tidak mau kuingat kembali.
Aku segera bergegas mengejar teman-temanku yang sudah terlebih dulu pergi ke kantin. Dalam waktu seminggu ini aku sudah mempunyai teman-teman yang dekat denganku. Aldo, dia satu ekskul denganku, ekskul basket, dan dia yang paling peduli diantara kami. Tio, si bawel yang selalu menggunakan mulutnya dimana saja. Kau akan kesal jika berlama-lama dengan dia, dia tidak akan pernah menutup mulutnya walau semenit pun. Dan yang terakhir Alex, dia sangat cuek, dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Dia tidak pernah memfilter mulutnya, apa yang ada dipikirannya akan dia katakan.
"Kenapa kau lama sekali?" Tanya Alex.
"Tidak apa-apa." Jawabku singkat.
"Merhatiin, murid misterius itu ya?" Goda Tio.
"Tidak kok." Elakku.
"Aku lihat kamu merhatiin dia." Jawab Alex memojokanku dengan memasang seringai di wajahnya membantu Tio.
"Iya deh aku ngaku, aku memang merhatiin dia, puas?" Jawabku dengan nada sarkastik.
"Hehehehe, iya puas-puas." Jawab Tio dengan senyum penuh kemenangan.
"Sekarang, apa yang kalian pikirkan tentang murid misterius itu?" Tanyaku saat kami sampai kantin.
Pertanyaanku sempat tertunda karena kami berpencar untuk membeli makanan yang kami inginkan, setelah itu kembali duduk di bangku yang biasa kami duduki. Kantin sekolah kami dapat dibilang cukup mewah. Bangku-bangku yang tersedia disusun rapih layaknya di restoran dan kantin ini memiliki tiga stan, stan pertama menjual makanan ringan seperti dessert ataupun roti, sementara stan yang kedua menjual minuman-minuman, seperti jus, youghurt, milk shake dan lainnya, dan stan yang terkahir menjual makanan berat, seperti nasi goreng, bakso, kare dan makanan berat lainnya.
Bangku yang kami duduki berada di baris ke dua dekat dengan jendela yang berhadapan langsung dengan taman sekolah. Kantin kami diapit oleh taman sekolah dan lapangan basket, sehingga pemandangan saat makan cukup menarik. Biasannya sisi kiri akan di penuhi oleh murid laki-laki, sementara di sisi kanan di penuhi oleh murid perempuan. Karena jendela di sisi kanan berhadapan langsung dengan lapangan basket, dan biasanya murid perempuan menyukai pemandangan para anggota basket yang sedang berlatih.
"Menurutmu sendiri bagaimana dengan anak misterius itu?" Tanya Aldo saat aku dan dia sudah sampai di bangku kantin mendahului Alex dan Tio.
"Entahlah, dia sedikit menarik dan anehnya aku merasakan sesuatu mengenai dirinya. Rasanya seakan-akan aku mengenalnya entah dimana." Jawabku sambil menyendokkan mie ayam ke mulutku.