Malam ini terasa sepi, padahal biasanya mereka makan di meja makan bertiga. Tapi kali ini bukan dengan Azura, melainkan dengan Alula.
Makanan untuk Azura sudah diberikan oleh Firman tadi. Hanya saja gadis itu tertidur di lantai. Firman juga yang menaikkannya ke atas ranjang. Azura masih memakai pakaian sekolah.
Firman tetap membangunkan untuk makan dan mandi, Azura saat itu hanya diam dan mengangguk kemudian membiarkan Firman pergi.
"Siapa sih orangnya?" tanya Salma memecah keheningan.
"Namanya Cakra, dia temen sekelas aku dulu selama SMA," jawab Alula.
"Baik anaknya?" tanya Salma.
"Selain aku nggak mau Azura terjebak dalam dosa, aku juga nggak mau dia sampai dekat sama Azura. Dia itu anak yang minus banget semangat hidupnya. Belajar nggak mau, datang ke sekolah kayaknya cuma rutinitas aja biar orang tuanya tau dia sekolah," jelas Alula.
"Nakal ya?" tanya Firman.
"Nakal, tapi karena dia ganteng plus keren plus kaya raya, jadi semua cewek penggemar dia. Tapi nggak ada sih dia keliatan pacaran, nggak play boy kayaknya. Tapi entah kalau dia privasi," jawab Alula.
Salma menghela nafas kasar. "Azura pun jadi penggemarnya. Gimana sih kok bisa dia kenal dan sampai dekat?"
"Dia temennya Rendi, bahkan dia kerja di sana. Sedangkan Azura sering ke rumah Luna."
"Aduh, yaiyalah. Apalagi sekarang itu lagi memanasnya masa muda, maklumin aja," ujar Firman.
"Maklumin apa Pa? Maklumin pacarannya? Sampai berlebihan gitu," tegur Salma.
"Cakra itu bahkan peminum, perokok, dan dua tahun yang lalu dia ditangkap polisi karena dia gunain narkoba. Nggak tau deh Azura tau atau nggak soal itu," lapor Alula.
Semua diam, hanya terdengar dentingan piring dan sendok. Sampai Alula membuka suaranya.
"Ma, Pa. Menurut aku Azura itu salah temen. Luna nggak buruk memang, tapi apa iya kita nitipin penjagaan Azura ke Luna? Sedangkan Luna gimana orangnya?"
Hening sesaat.
"Misal kita bilang Azura jangan dibiarin pacaran, apa iya Luna bisa ngelarang sedangkan dia sendiri pacaran. Dia nggak akan ngelarang sesuatu yang juga dia lakuin," tutur Alula.
Firman mengangguk. "Bener memang, Papa juga ngerasa pasti Luna juga dukung dia untuk ini, karena dia pacaran."
"Untuk ngajarin, untuk ngasih kesempatan misalnya. Ya kayak gini, sebelum Azura pergi sama Cakra, pasti Luna bilang dulu kalau dia bakal pergi sama pacarnya. Aku nggak tau prasangka ini bener atau nggak, tapi aku yakin Luna ikut membantu. Dia sedikit ngelarang, selebihnya dia dukung selagi Azura baik-baik aja," kata Azura.
Salma menghela nafas pelan. "Mama tau, dan udah sering banget pengen bilang soal itu, tapi takut Azura kesinggung. Mama sadar kok soal itu, tapi selama ini Azura tetap nggak pernah ninggalin sholat, auratnya masih terjaga, perkataannya masih aman aja. Makanya Mama masih merasa aman aja," jelas Salma.
Firman mengangguk setuju.
Salma dan Firman saat ini sama sedihnya, sedih karena Azura melakukan hal itu, berbohong kepada mereka. Sedih karena harus menghukum putrinya itu. Sedih karena harus cuek dan tidak peduli untuk beberapa waktu dulu kepadanya.
() () ()
Azura duduk di ayunan yang ada di balkon kamarnya, ia melamun sepagi ini. Jarang sekali ia merasakan suasana setenang ini. Masih dengan kesedihannya, memeluk lututnya sambil melamun, dan dinginnya embun dapat dirasakan.
Biasanya jam segini ia sibuk mencari peralatan sekolah yang akan dipakai, atau mungkin biasanya sudah sarapan bersama orang tuanya.
Lamunannya itu buyar seketika, Alula datang dan duduk di sampingnya. Alula membawakan senampan makanan.
"Ayo makan. Kakak mau ke bawah," suruh Alula.
Azura hanya diam saja. Dikarenakan ini edisi marah dan memberi hukuman, Alula dengan tega berdiri untuk meninggalkannya.
"Kakak marah sama aku?" tanya Azura yang menghentikan langkah Alula.
Alula kembali duduk. "Kakak cuma kecewa sama kamu, kenapa sampai ngelakuin hal yang dilarang."
"Ya itu namanya marah," jawab Azura. "Aku sadar Kak, Kak Cakra ngelakuin itu memang karena aku, tapi aku benar-benar khilaf saat dia mulai mendekat."