Belum usai masalahnya dengan Azura, Cakra sudah menghadapi masalah baru dengan orang tuanya.
Cakra menghela nafas lalu mengetuk pintu kamar orang tuanya. Setelah pulang kerja.
"Siapa?" tanya Ema.
Cakra tidak menjawab karena takut. Tapi orang tuanya tahu kalau itu pasti Cakra. Kebiasaan dari kecil yang tidak pernah berubah, ketika ia akan meminta maaf atau melakukan suatu kesalahan, Cakra akan mengetuk tanpa mau menyebutkan namanya.
"Masuk Cakra," ucap Ema.
Cakra langsung membuka pintu kamar perlahan, lalu menampakkan dirinya.
Saat itu Raffi sedang berbaring di atas bantal, tapi bantalnya terletak di paha Ema, dan Ema memijat kepalanya.
Begitu melihat Cakra Raffi langsung tertawa. "Dia kayaknya udah bawa uangnya, Ma."
Cakra naik ke atas kasur dengan perlahan, ia duduk di hadapan kedua orang tuanya.
"Mana uangnya?" tanya Raffi.
"Aku nggak akan sanggup Pa ngumpulin uang sebanyak itu dalam waktu cepat," kata Cakra dengan pelan.
Raffi memukul lengannya. "Tapi ngabisinnya bisa!"
Cakra menunduk.
"Mama 'kan udah bilang Cakra, berhenti ke tempat-tempat yang bakal bawa kamu dalam kerusakan, kehancuran," ujar Ema.
"Wajar aja sih kalau si Azura itu marah, kalau Papa udah minta putus, untuk apa bertahan sama cowok goblok kayak gini," tutur Raffi sambil menepiknya lagi.
Cakra hanya diam.
Raffi menggelengkan kepalanya. "Tadinya Papa mau bujuk kamu kalau mau kuliah ke luar negeri aja, kuliah arsitektur, tapi ngeliat kelakuan kamu ini mending ke pondok aja."
"Ahk! Nggak mau!" tolak Cakra dengan keras.
"Cakra, Mama paham di sini pergaulan memang bebas, liar. Bisa nggak kamu jujur, selama ini kalau ikut taruhan ada yang kamu korbanin selain uang?" tanya Ema serius.
"Cuma uang Ma, aku nggak berani yang lain, kalau mereka ya berani nantangin motor, mobil, tap---"
"Tapi kamu Papa jual, habis itu!" potong Raffi.
"Tapi aku takut kalah kayak gini, kali ini doang kok aku kalah berturut-turut gini, biasanya aku menang terus," jawab Cakra santai.
Raffi langsung menampar dengan pelan mulut Cakra. "Itu judi, dosa! Jangan bangga kamu!" Raffi memukul mulutnya berkali-kali.
"Pacaran sama anak Pak Firman yang alim gitu, mana mau dia menantu tukang judi kayak gini. Modal cinta doang nggak bawa ke surga!!" ujar Raffi.
"Papa juga aku liat jarang sholat, uang doang nggak bawa ke surga!"
Krik .... Krik .... Hening.
"Dari pada kamu, sholat rajin, judi lancar, mabuk terus, pacaran lanjut," balas Raffi setelah beberapa saat hening.
Ema tertawa mendengar suaminya spill maksiat anaknya.
"Dari pada Pa---"
"Apa?!" Dapat lagi Cakra satu tamparan oleh Raffi.
"Udahlah, membandingkan dua kesalahan nggak akan buat salah satunya jadi baik," ujar Ema. "Berhenti Cakra ngelakuin hal bodoh, kamu ini udah dewasa lho."
"Tampang doang keren, otaknya---"
"Apa?!" balas Cakra dengan sedikit meninggikan suaranya.
"Jadi kamu mau apa sebenarnya kesini? Jangan ganggu kami, nggak liat orang lagi pacaran??" tanya Raffi.
"Kamu kalau pacaran sama Azura ngapain aja?" tanya Raffi tiba-tiba.
"Ya nggak ngapa-ngapain, emang kita bisa ngapain? Kita kayak orang nggak pacaran kok," jawab Cakra.
Raffi memukul paha Cakra, ia masih berbaring sedari tadi.
"Jangan apa-apain anak orang, dia tu masih muda, masih sekolah, nanti rusak masa depannya," pesan Raffi.
"Iya Pa, aku tau."
"Papa khawatir sama kamu, narkoba, judi, mabuk, dan sekarang punya pacar, haduh makin khawatir," Raffi frustasi.
"Aku tau kok mana yang bener dan mana yang salah!"
Satu tamparan kecil di mulutnya Cakra dapat lagi.
"Kalau iya gitu kamu nggak akan main judi!"
Cakra menunduk, memang ia salah. "Aku kesini mau minta maaf. Aku salah, aku nggak akan bisa ngembaliin uang Papa, tapi Papa bisa kok ngembaliin motor, mobil, dan rekening aku," Cakra berbicara dengan menunduk.
"Oooh dasar anak set---"
"Pa, dia anak kita," potong Ema.
Cakra tersenyum tipis, dan terkena tamparan lagi. Pelan saja Raffi menamparnya.
"Aku salah Pa, maaf. Aku janji nggak akan ngulangin lagi, janji banget," mohon Cakra.
"Papa bisa aja maafin, tapi untuk ngembaliin harta kamu itu nggak akan!"
"Paa, kasihani putramu ini, masa iya cowok keren kayak aku naik angkot, atau numpang temennya kemana-mana," bujuk Cakra.
"Nggak akan! Papa nggak peduli!"
"Please, Pa! Mohon banget." Cakra menyatukan kedua telapak tangannya.
"Bikin dulu Papa kamu ini seneng baru Papa kasih lagi."
"Caranya?" tanya Cakra.
"Mana Papa tau, fikir sendiri. Sambil berfikir mending di kamar aja. Jangan jadi orang ketiga di antara kami berdua, Papa mau berduaan sama Mama kamu, jadi pergi sana!" usir Raffi.
"Ya Allah, anaknya mau gabung aja diusir," ucap Cakra.
"Lo, bukan circle kami, pergi sana!"
"Idih, yaudah lah. Besok bakal aku bikin Papa seneng, biar kembali semua harta dan tahta yang aku punya."