Lagi, setelah selesai sholat dan mengaji, sebuah telpon masuk. Untung saja ia dan Alula punya kamar masing-masing, jadi ia tidak perlu khawatir dan takut.
Karena matahari belum terbit, Azura memilih balkon untuk tempatnya berbincang dengan Cakra. Azura masih mukenah karena merasa dingin.
Cakra mengalihkan ke panggilan video.
"Udah sholat Tuan?" tanya Azura.
Jatuh cinta sekali Azura melihat wajah Cakra saat ini, berbaring di kamar dengan wajahnya yang segar, tapi bukan sehabis mandi.
"Sudah tuan putri. Bisa kita kawin lari nggak?"
Azura tersenyum manis, Cakra candu sekali melihatnya.
Cakra pun jatuh cinta melihat Azura saat ini, memakai mukenah dan wajahnya tampak sederhana dan menenangkan sekali.
"Kalau deket udah nggak nafas lagi kamu Kakak peluk."
"Pengen aku nggak nafas lagi?"
"Pengen kamu nafas di samping Kakak."
Azura manyun.
"Kangen."
"Baru semalam ngabisin waktu, masa mau ketemu lagi. Bukannya nggak mau, kisah cinta kita ini penuh tantangan," jawab Azura.
"Iya. Ayo ketemu lagi."
"Nggak mau ahk! Ribet urusannya, kemarin 'kan udah," tolak Azura.
"Kalau kamu mau Kakak bisa ngaturnya."
Azura berdecak kesal. "Aku nggak mau berjuang apa-apa. Kakak usahain sendiri."
"Bisa, asal kamu bisa kasih kode-kode."
"Ya aku usahain, tapi cuma ngasih kode aja ya. Kalau nggak bisa ketemu bukan aku yang salah."
"Iya Sayang."
"Padahal semalam udah ketemu, mau ketemu mulu."
"Deket kamu itu bikin candu, makanya jangan gemesin."
Azura hanya diam.
"Kapan ke Lombok?"
"Belum tau, ngatur waktunya dulu."
Cakra mengangguk-angguk dari seberang sana.
"Mama Kakak bilang kemaren, kapan-kapan main ke rumah ya Sayang, nanti kita masak bareng terus makan bareng. Iya insyaallah, aku jawab gitu aja."
"Mama Kakak?"
"Eh, maksudya Mama .... "
"Jadi kapan Sayang?"
"Usahain sendiri aku bilang! Aku nggak akan usaha apapun!" tegas Azura.
"Iya tuan putri."
Bukannya berdzikir, atau mengaji, mereka memilih berbincang tentang apa saja hingga pagi.
() () ()
Pagi pertama diliburan kali ini, Azura dan keluarganya menyantap ubi rebus dan teh yang sudah disiapkan Salma.
Sambil menikmati pagi yang dingin ini, mereka menonton acara televisi dengan berbagai perbincangan.
"Setelah tamat sekolah ini Zura, kamu mau nggak kalau masuk ke Universitas sama kayak Kakak kamu?" tanya Firman.
"Aku maunya sastra Indonesia Pa, pokoknya aku mau itu," kata Azura.
"Mau jadi apa?" tanya Salma.
"Kuliah kan bukan buat jadi apa, tapi buat ilmunya," tutur Azura.
"Udahlah Pa, emang dari dulu keinginan dia itu. Ya nggak papa," ujar Alula.
Azura mengangguk setuju.
"Azura nanti mau nemenin Kakak nggak?" tanya Alula.
"Ke?"
"Rumah temen Kakak, dia hari ini lamaran," jawab Alula.
"Nggak, males! Aku nggak mau!" tolak Azura.
"Kamu kayaknya kalau sama Luna kemana-mana aja bisa, tapi nemenin Kakak nggak mau," protes Alula.
"Kan udah aku bilang jangan banding-bandingin," kesal Azura.
"Temenin kakaknya ya Azura, 'kan jarang-jarang kalian ketemu. Habis itu jalan-jalan," suruh Firman.
Azura diam.
"Udahlah nggak usah! Aku nggak suka liat mukanya kayak gitu!" kesal Alula melihat Azura.
"Iya-iya!" setuju Azura dengan suara ketus.
"Mama nggak suka kalian kayak gini," ucap Salma.
"Mama liat dia, kalau sama Luna mau kemana aja, coba sama saudaranya sendiri," jawab Alula. "Kayaknya temennya itu yang bakal selalu ada."
Azura cemberut.
"Iya Kak Alula, nanti aku temenin! Nggak usah marah gitu!" jawab Azura dengan keterpaksaan.
Alula menatapnya sekilas dengan sinis.
"Kalau nggak mau yaudah nggak papa," ucap Azura lagi dengan senangnya.
"Ya memang itu yang kamu mau," jawab Alula.
"Udahlah ahk! Nanti pergi sama Azura," ujar Firman.
"Dia 'kan kalau sama aku nggak akan bisa bebas makanya nggak mau," tutur Alula sambil memperhatikan TV.
"Sebebas apa sih aku sama Luna? Aku bahkan udah nggak pernah ke rumah dia sesering dulu, nggak usahlah berfikiran kalau kita tu sebebas yang kayak kata Kakak," jelas Azura mulai kesal.
"Udah Alula. Pergi sama Azura nanti, dia mau itu, jangan malah emosi-emosian," kata Salma.
Alula menghela nafas pelan, lalu bangkit dari duduknya dan hendak pergi dari sana.
"Kalau di depan orang lain baiknya minta ampun, anak sholehah, lemah-lembut. Coba kalau di rumah .... " gumam Azura.
"Apa maksud kamu bilang gitu?" tanya Alula yang langkahnya mulai terhenti.
"Apa emang?" sinis Azura.
Salma berdecak kesal. "Udah!" tegas Salma.
Alula melirik HandPhone Azura. "Ada yang nelpon kamu itu, sebelum Kakak yang angkat lebih baik kamu liat!"
Azura dengan sigap mengambilnya. Alula langsung tertawa.
"Gerak-gerik kamu bikin curiga ya Zura," kata Alula.
Tiba-tiba kalung yang berada di leher Azura menjadi perhatian Alula.
"Kalung kam---"
Saat Alula ingin menyentuhnya, Azura langsung memegang kalung itu duluan.
"Nggak usah kepo urusan aku!" tegas Azura sambil bangkit dari duduknya.
"Azura, Papa nggak suka kamu bilang gitu sama Kakak," kata Firman dengan lembut.
Azura langsung pergi dengan cepat menuju kamarnya, meninggalkan mereka yang tentu heran dengan kelakuannya.
Mereka bertiga saling tatap, dengan tatapan yang memiliki makna sama.
() () ()
"Bentar lagi Kakak jemput."
"Apa?!"
"Iya, kamu siap-siap aja dulu, bentar lagi Kakak jemput."
"Ngapain? Jemput di mana?"
"Di rumah."
"Jangan ngada-ngada."
"Tunggu di rumah ya."
Sambungan telepon terputus. Jantung Azura berpacu cepat, ia jantungan dan tidak tenang. Azura refleks berdiri sambil menelpon Cakra terus menerus, namun tidak diangkat.
Perutnya sudah mulas dan ingin segera ke wc karena gugupnya.
Entah apa yang dimaksud Cakra, ia tidak bisa tenang dan berusaha santai. Cakra tak pernah main-main dan bercanda padanya.
Sedangkan di ruang tamu, Salma keheranan dengan jawaban apa yang akan diberikan pada Ema saat ini melalui telpon.
"Ma, kayaknya aku nggak jadi pergi. Bukan nggak mau sama Azura, tapi aku sama temen yang lain, kalau pergi sama Azura malah dia nggak nyaman nanti," kata Alula. "Sekarang aku mau ke toko dulu ya, aku pergi dulu," pamit Alula sekalian.
"Tapi Nak .... "