Prolog Epilog

Devi Wulandari
Chapter #33

Hukuman

Rendi menendang dan memukul mobilnya sendiri setelah keluar dari rumah Galang.

Cakra bersandar di mobil dengan santainya, ia bahkan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Saat Rendi keluar rumah dengan kemarahannya, Cakra baru saja datang dengan motornya. Ia tahu Rendi sedang marah saat itu, maka ia langsung masuk ke dalam mobil mengikuti Rendi.

Edi papanya juga menyuruh Cakra untuk ikut.

Selama di dalam mobil Rendi tak mengatakan apapun, Cakra cukup sekali bertanya, setelah tidak dijawab ia berhenti bertanya.

Laju mobil saat itu juga kencang, sangat kencang Rendi membawanya tadi. Namun, saat itu rasanya Cakra siap-siap akan tidak sadarkan diri dan terbangun di rumah sakit.

Rendi berkali-kali menendang mobilnya, ia begitu frustasi, ia mengusap rambutnya dan terduduk lemas di bawah sambil menutup wajahnya.

"Kenapa sih? Kasih tau gue Ren," ucap Cakra yang ikut duduk di dekatnya.

Tidak ada jawaban, hingga terdengar tangisan Rendi. Cakra tentu kaget, seorang Rendi menangis.

Cakra kaku, ia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Bahkan untuk mengelus punggung temannya saja bingung, hingga akhirnya mengelus bahunya saja.

"Cerita ke gue. Ada apa sama Galang? Apa yang terjadi sama Luna?"

Rumah Galang yang mereka datangi ternyata tidak berpenghuni. Kabarnya mereka sudah pindah ke kota lain, yang bahkan tetangganya pun tidak tahu kemana mereka pergi.

Sampai akhirnya tangisan Rendi reda, lalu ia mengangkat wajahnya untuk berbicara.

"Gue merasa gagal banget jadi seorang kakak laki-laki, harusnya kehadiran gue adalah untuk menjaga adik gue, dari apapun. Sekarang Luna hancur, gue bisa apa selain nyesal," ujar Rendi.

"Gue nyesal selalu ngebiarin dia pergi sama Galang, gue nyesal nggak mau marahin dia karena takut dia marah balik. Gue nyesal karena gue marah ke dia cuma sekedar aja. Harusnya gue tegas, sebagai seorang kakak, bukan lemah karena kasih sayang," lanjut Rendi. "Gue nyesal setiap dia minta izin, gue izinin dengan mudah. Saat dia marah karena gue marahin gue bujuk lagi. Wajar kalau Alula setegas itu ke Azura, dia yang perempuan aja bisa gitu. Kenapa gue nggak? Padahal gue laki-laki dan paham dengan isi pikiran laki-laki."

Rendi menangis lagi.

"Dia udah nikah sama perempuan lain, adek gue dia tinggalin gitu aja. Nggak papa Cakra kalau Luna nggak diapa-apain sama dia. Tapi .... Ya Allah, Luna ngaku sendiri di depan Azura .... Kalau harga dirinya udah nggak ada lagi di depan Galang, dia jujur di depan kita kalau dia udah dijadiin budak nafsunya. Gue di mana saat itu Cakra? Gue di mana saat adek gue diperlakukan kayak cewek murahan? Gue di mana saat adek gue dijadiin budak nafsu bagi seorang cowok, gue di mana? Gue di mana saat mungkin adek gue bisa nolak, mungkin adek gue bisa marah, gue di mana saat seharusnya adek gue bicara dan minta bantuan gue."

"Apa gue kurang peran sebagai kakak, sampai-sampai adek gue nggak bisa ngomong apapun ke gue?"

Rendi menutup wajahnya.

"Harusnya dia datang ke gue untuk minta bantuan. Kenapa dia nggak pernah ngomong?" lanjut Rendi dengan suara parau karena tangisnya.

"Gue nggak akan marah ke dia, gue bakal ngabisin tu cowok, gue bakal ngelakuin apa aja asal dia baik-baik aja. Gue bukan Kakak yang baik, gue gagal jadi seorang pelindung. Gue mikirin apa saat dia dalam keadaan terjebak mungkin, terjebak sama kata-kata Galang, atau sama perbuatan laki-laki itu. Apa saat itu gue bersenang-senang sama dunia gue sendiri? Dia punya gue, kenapa dia nggak minta bantuan gue?"

Rendi memukuli kepalanya sendiri, tapi Cakra langsung menghentikannya.

"Jangan mukul diri sendiri, dia yang harus lo pukuli, brengsek!" kesal Cakra.

"Saking sayangnya gue ke dia, gue takut banget dia marah sama gue. Gue takut dia sedih, dia nangis, dia ngambek sama gue. Saking sayangnya, gue malah biarin dia hancur. Gue beneran malu sama Alula, waktu dia tau Azura deket sama lo, bahkan adiknya itu nggak dibolehin kemanapun, meski ke rumah Luna. Mereka nggak peduli dengan ambekan Azura, dengan kesalnya Azura, yang penting Azura aman. Bukan berarti gue bilang lo nggak baik, tapi pasti dia takut adiknya kenapa-napa. Bahkan dia aja ditampar waktu itu Cakra, kenapa gue nggak seberani itu ke Luna. Kasih sayang apa yang sebenarnya gue punya .... "

Rendi sengaja mengatakan itu untuk menyindir Cakra. Cakra tertunduk mendengarnya, sindiran Rendi tepat sasaran.

"Bisa lo temenin gue nanti?" tanya Rendi.

"Ke?"

"Cari Galang, sampai ketemu. Apapun yang terjadi gue nggak peduli. Yang terpenting dia harus dapat sesuatu dari gue. Gue nggak bisa sabar dan tenang nerima apa aja. Paling enggak satu pukulan dia dapet, apapun yang terjadi setelahnya gue nggak peduli," jelas Rendi.

"Gue juga bukan temen yang bisa nenangin lo dengan kata-kata. Kemanapun lo ajak gue buat ketemu Galang, gue temenin, gue semangatin sampai ketemu. Jangan cuma sekali Ren, minimal 5 tonjokan di kepalanya itu, lo 3 gue 2. Kalau dia punya otak, kita keroyokin juga dia nggak akan ngebales atau laporin kita," jawab Cakra.

Rendi mengangguk, apapun yang terjadi setelahnya ia tidak peduli, yang terpenting kemarahannya terlampiaskan pada orangnya langsung.

Tapi ia tidak akan pernah meminta laki-laki itu menikahi adiknya, ia percaya akan ada lelaki yang baik yang akan bisa menerima Luna nantinya. Ia tidak akan pernah mau Galang kembali pada Luna. Laki-laki yang tidak baik bahkan sebelum menikah, maka selanjutnya pun kehidupan Luna bisa lebih hancur jika bersamanya.

"Tapi nanti malam aja mungkin. Gue mau liat Luna dulu, mau nemenin dia, tadi waktu ada Zura dia masih nangis. Semoga sekarang udah tenang," ujar Rendi.

Cakra mengangguk.

"Lo nggak mau ikut ke rumah gue?" tanya Rendi.

"Mau makan di rumah, tadi Mama masak. Pokoknya nanti gue ke rumah lo, atau telpon aja kalau gue belum kesana nanti," jawab Cakra.

Cakra tidak mungkin tidak makan di rumah, jika mamanya sudah menginfokan akan memasak makanan kesukaannya.

() () ()

Azura termenung sambil memperhatikan jalanan yang ia lewati. Matanya memang menangkap banyak pemandangan, tapi nyatanya kosong. 

"Azura mau Kakak beliin coklat nggak?" tanya Alula.

Azura tidak menjawab, dia ngambek kepada kedua orang tuanya dan Alula, meski Alula tidak salah di sini. 

Saat lampu merah, mobilnya berhenti. Azura menurunkan kaca mobil. Tepat saat itu ada anak kecil yang berjualan. 

Azura tidak menghiraukannya sama sekali. Salma yang duduk di sampingnya berdecak kesal. Lalu ia membeli sesuatu di gadis kecil itu. 

"Kakaknya kenapa nangis Bu? Jangan sedih-sedih Kak, ada banyak orang yang jauh lebih menderita dari Kakak," ujar gadis itu. 

Azura langsung meliriknya. "Jadi Kakak nggak boleh nangis?" tanya Azura dingin. 

"Boleh, tap-"

Azura langsung menutup kacanya. 

"Azura! Nggak sopan!" tegur Salma. 

Salma langsung membukanya lagi dan memberikan uang untuk kerupuk yang ia beli. 

Lihat selengkapnya