"Aku ikhlas, dan aku ridho Ya Allah," ucap Azura dengan genangan air matanya setelah usai sholat.
Saat itu Salma menghampiri Azura, ia langsung menatap Azura.
Salma menangkup wajah Azura, mengelus pipinya lalu menghapus air matanya. Kemudian mencium kedua pipi Azura berkali-kali.
"Aku nggak bisa hidup tanpa Mama," rengek Azura.
Salma langsung menutup mulutnya.
"Anak Mama bisa hidup tanpa mamanya," ucap Salma.
"Gimana aku makan, gimana aku nangis, siapa yang mau dengerin aku, ke siapa aku mau manja-manjaan, siapa yang bakal dengerin rengekan aku."
Salma tersenyum. Saat itu Firman dan Alula juga datang dan duduk di dekatnya.
"Ujian, hukuman, dan ilmu."
"Pondok kamu ini tetap ada cowoknya, sebagai ujian buat kamu. Meskipun nggak ada papa-mama-kakak, kamu harus tetap bisa menjaga diri kamu. Kamu tetep bisa menjaga marwah kamu, bukan karena takut Mama, tapi karena Allah, Sayang .... "
"Hukuman, ini konsekuensi dari apa yang kamu perbuat. Kamu nggak akan kembali kesini, kita bakal ketemu saat Mama sama Papa yang datang jumpain kamu, sampai kamu selesai belajar di sana. Kamu nggak akan nyentuhin kaki ke sini."
Ini yang paling sakit bagi Azura.
"Hukuman ini bukan buat kamu aja Azura. Buat Mama kamu juga pastinya, buat Papa juga, buat Alula. Liat aja nanti setiap Papa buka kamar pasti bakal ngeliat Mama kamu lagi nangis," ujar Firman.
Azura terkekeh.
"Hukuman buat Luna yang membantu kamu meski dia udah janji. Ini sebagai pelajaran bahwa sesuatu yang salah jangan pernah dilakuin, apalagi yang kedua kalinya. Yang pertama adalah kesalahan, yang kedua adalah pengkhianatan," tutur Salma.
"Ilmu, dan di sana kamu harus ikhlas, kamu harus ikhlas bahwa ini untuk Allah, bahwa ini untuk agama Allah, ikhlas disetiap helaan nafas kamu. Ikhlas bahwa kamu datang kesana buat ilmu, buat belajar, buat memperdalam agama, biar kamu nggak salah langkah, biar kamu dalam jalan yang benar. Ini bukan hukuman, tapi kenikmatan, di mana kamu bisa lebih banyak memperdalam agama kamu. Biar kamu mandiri juga, biar kamu belajar hidup sendiri, apa-apa sendiri, nggak mengkek dan manja," jelas Alula sambil mengelus pipinya.
Salma tersenyum. "Kamu ingat 'kan dulu emang gini perjanjiannya. Seandainya nanti kalian berbuat salah yang fatal, kalian akan dimasukkin ke pondok. Itu 'kan janji kalian ke Mama waktu kami nyuruh kalian masuk pondok. Kalian bilang nggak mau, kalian janji akan tetap jadi anak sholeha dan nggak akan melanggar perintah Allah, asalkan tetap di sini."
Alula tersenyum, tentu ingat dengan hal itu. Sedangkan Azura masih mencoba mengingat.
"Jangan pernah cinta ke orang yang salah, jangan pernah cinta ke orang yang malah buat kamu jauh dari Allah. Jangan jatuh cinta ke orang yang nggak mencintai Allah. Azura Sayang, kalau ada laki-laki mencintai kamu lagi .... Tapi dia malah menjerumuskan kamu dalam dosa, dalam kebohongan, membawa kamu dalam kebahagiaan di atas dosa, jangan!!! Ingat yaa!!"
Azura mengangguk, Firman langsung mengecup keningnya.
"Aku sedih," ucap Azura sambil menangis. Mereka langsung berpelukan untuk meluapkan segalanya.
Pagi ini Azura akan meninggalkan semuanya, untuk ujian, hukuman, dan ilmu.
Berat rasanya, tapi Azura juga sadar kalau inilah jalan yang sudah ia pilih karena kesalahan yang ia buat.
Setiap kesalahan ada konsekuensi, setiap kesalahan ada akibat disengaja ataupun tidak, dan siapapun tidak mengelak dari akibat kesalah itu, Azura sudah menerima dengan ikhlas perihal itu.
() () ()
Cakra menghela nafas kasar, Rendi yang berada di sampingnya melirik Cakra. Saat ini mereka sedang berada di balik jeruri besi, sudah semalaman dan sekarang sudah pagi.
"Gue minta maaf ya, karena gue minta tolong sama lo. Lo jadi ikut-ikutan," ujar Rendi.
Mereka duduk berselonjor sambil bersandar.
"Kalau lo nggak maksa berarti ini keinginan gue, 'kan udah gue bilang kalau gue bakal bantuin. Kalau gue nggak mau nerima resiko apapun, ya harusnya nggak usah ikutan," jawab Cakra sambil menatap ke depan. "Dia memang harus dapat pelajaran."
"Tapi gue tetap merasa bersalah Cakra, semalam abang-abang lo datang, Kak Juan keliatan marah banget kayaknya sama lo. Hari ini mungkin aja mama sama kakak lo yang datang, atau mungkin papa lo. Kalau lo nggak bantuin gue, pasti lo nggak perlu ada di posisi ini," Rendi berbicara dengan penuh penyesalan.
"Udahlah Ren, 'kan udah gue bilang, kalau gue setuju, artinya gue siap dengan konsekuensi apapun, santai aja. Kalau nanti kita nggak bisa bebas dengan jaminan, yaudah kita 'kan di penjara bareng. Nanti kita ngapalin Al-quran aja di sini, pulang-pulang udah hafal 10 jus."
Rendi terkekeh. "Setor-setoran aja kita ya nggak?"
Cakra tertawa. "Yang penting kemarahan lo udah terlampiaskan."
Rendi diam sejenak.
"Dari semalam gue liat lo nggak tenang Cakra. Gue jadi merasa lo benci dengan keadaan ini," terang Rendi.
Sejak mereka ditahan, memang Cakra yang paling terlihat resah dan gelisah, tak berhenti mondar-mandir, menghela nafas, memandang ke langit-langit, dan bahkan ia tidak bisa tidur.
"Iya, gue benci dengan keadaan ini."
"Gue minta maaf ya .... "
"Gue lagi mikirin Azura."
Rendi langsung menoleh. "Kenapa?"
Cakra tidak bisa mengatakan alasannya.
"Nggak tau, dari semalam gue mikirin dia terus," bohong Cakra.
Cakra takut jika Rendi tahu tentang Azura yang berpamitan pergi, ia akan semakin khawatir dengan keadaan Luna saat ini.
"Takut dia marah?" tanya Rendi.
Cakra menggeleng. Lalu ia mengusap wajah dan rambutnya, kemudian berdiri lagi. Sesekali ia berdecak kesal, sambil berharap jikalau gadis itu memang pergi setidaknya mereka sempat bertemu dan berbincang sebentar.
"Udahlah, dia baik-baik aja."
"Gue nggak bisa berhenti mikirin dia."
Saat itu juga Ema datang bersama Tantri. Cakra diam sejenak, lalu lebih dekat lagi pada jeruji besi.
"Ngapain sih Cakra?" tanya Ema.
Cakra diam sambil menunduk. Lalu Ema mencubit perutnya, Cakra tidak mengelak hanya meringis saja.
"Papa kamu nggak mau bebasin kamu. Dia bilang hadapi segala prosesnya," lapor Ema.