Sambil menangis dan terus mengotak-atik HandPhone-nya, Luna duduk di balkon ditemani Rendi.
Rendi memijat pelipisnya melihat Luna saat ini, berkali-kali Rendi menyuruhnya berhenti, tapi tetap gadis itu marah dan menangis.
"Angkat Zura! Angkat! Ih goblok banget sih!"
"Luna, udah. Azura nggak bisa dihubungi," ucap Rendi dengan pelan.
"Bisa! Pasti bisa!" bentak Luna.
"Heh, dengerin Kakak sini," paksa Rendi sambil menarik tangannya, tapi Luna memberontak dan tetap melakukan hal yang sama.
"Luna .... "
"Angkat telpon gue Zura!!!" teriaknya disusul tangis.
Rendi berdecak kesal. Hingga akhirnya Luna melempar HandPhone-nya ke bawah dan retak.
Lalu ia terduduk sambil menutup wajahnya. Kehilangan Azura jauh lebih menyakitkan dari pada kehilangan Galang. Sejak ia menemukan surat itu Luna tidak bisa tenang.
Saat ia tahu Galang pergi dan menikah dengan wanita lain, Luna tidak bisa berhenti menangis. Tapi saat Azura yang pergi, Luna sama sekali tidak tenang barangkali hanya beberapa menit saja.
Rendi langsung memeluknya, Luna pun meluruh tangisnya dalam pelukan Rendi. Rendi juga ikut menangis.
Pertemanan mereka sudah sejak kelas 2 SD, sejak saat itu takdir memberikan jalan untuk mereka selalu bersama-sama. Namun, tiba-tiba Azura pergi begitu saja, meninggalkan dirinya tanpa berpamitan secara langsung, dan meninggalkannya dalam keterpurukan.
"Tega banget mereka ke aku," ucap Luna.
"Ini hukuman buat kamu." Rendi mengatakan itu dengan berusaha berani.
Rendi sudah bertemu dengan orang tua Azura, saat mereka baru saja pulang. Mereka berbincang soal Azura. Rendi dapat menerima penjelasan mereka, ketegasan mereka, dan bagaimana cara mereka mengatasi permasalahannya.
"Hukuman karena udah biarin Azura pacaran sama Cakra. Kamu udah janji 'kan sama Tante Salma waktu itu?"
"Inilah resikonya berteman sama orang kayak Azura."
Luna tidak menjawab.
"Azura nggak berani nemuin kamu, makanya dia pamitan lewat surat. Makanya juga dia pergi lebih cepat, biar nggak ketemu kamu karena takut dia bakal nangis terus nanti saat sama kamu. Azura nggak setega itu sama kamu, kata Tante Salma aja sepanjang perjalanan dia nangis terus nyebut nama kamu," cerita Rendi.
"Kapan dia pulang?" tanya Luna tanpa tangisan.
"Dia nggak akan pernah pulang, sampai dia selesai belajar di sana. Dia akan belajar segalanya di sana, pelajaran yang mungkin nggak dipelajari di sekolah. Dia bakal jadi penduduk asli di sana, yang nggak tau pulang, dan nggak pernah tau kampung halaman," jawab Rendi. "Kayak orang yang memang menetap di sana."
Tangisan Luna pecah.
"Mulai sekarang aku nggak punya kehidupan, Kak. Aku nggak punya kehidupan lagi."
"Jangan bilang gitu, Bunda-Papa-Kakak kamu anggap apa? Hanya karena kehilangan Azura .... "
"Ya cuma kalian alasan aku hidup, semangat hidup aku cuma dinafas yang berhembus. Jangan pernah paksa aku dan nasihati untuk menggapai segalanya tentang dunia." Luna menggeleng. "Jangan pernah."
Luna melepas peluknya.
"Kalau aku mau pulih, aku akan pulih sendiri Kak, tanpa harus terus denger ocehan kalian tentang hidup."
Rendi menghapus air mata Luna.
"Ini sebenarnya bukan hukuman dari manusia ke aku. Tapi dari Allah buat aku, semua ngehancurin aku. Semua terjadi secara bersamaan, bukan manusia yang ngatur ini, pasti Allah."
Rendi tersenyum mendengar perkataannya, baru kali ini Luna berbicara baik tanpa tangisan, tanpa meronta, tanpa marah kepada semesta.
Saat Galang menikah, tak lama setelah itu kebohongan Azura diketahui orang tuanya, hukuman Azura dapat. Luna hancur karena keduanya.
"Azura kemana sebenarnya Kak?"
"Nggak tau, mereka nggak mau ngasih tau, yang Kakak tau dia pergi ke pondok, tapi nggak tau di mana pastinya," jawab Luna.
"Azura pasti lagi nangis sekarang. Azura pasti nggak berhenti nangis sampai berhari-hari setiap sebelum tidur," ujar Luna sambil menghapus air matanya.
"Semoga nanti dia nggak betah dan kabur," lanjut Luna.
"Heh, nggak boleh gitu! Kamu tau nggak dia dihajar habis-habisan waktu ketauan pacaran," cerita Rendi.
"Serius?"
Rendi mengangguk. "Alula yang cerita ke Kakak. Kasian 'kan dia."
"Rasanya sakit memang saat kepercayaan kita dirusak. Aku nggak akan pernah ketemu keluarga Azura, mereka pasti benci aku." Luna menatap ke depan.
"Nggak. Mereka nggak benci sama kamu, mereka paham gimana kamu dan masa-masanya kalian saat ini. Apalagi mereka tau udah berapa lama kalian sahabatan, mereka paham kok. Kakak juga udah minta maaf soal ini ke mereka, kalau kamu nggak bisa yang nggak usah."
Luna langsung menyandarkan kepalanya di bahu Rendi.
"Azura .... " rintih Luna.
() () ()
Cakra memberanikan diri memencet bel sebuah rumah, jantungnya berdegup kencang, takut-gugup, dan rasa ingin pulang.
Cakra datang kesini atas saran dari kakak perempuannya, dan para tetua di rumahnya. Kata mereka agar tidak ada kecanggungan, setidaknya sudah minta maaf karena ini juga sebuah kesalahan.