Berbeda sekali.
Semua tatapan yang diberikan kepada Sofia sudah menjadi bersahabat, aku sangat bersyukur akan hal itu. Dengan cepat berita menyebar luas ke seantero sekolah atas kejadian kemarin. Membuat semua siswa berani menyapa, bertanya, dan melakukan hal sewajarnya kepada Sofia. Juga hari ini ia berani menunjukan diri pada dunia, melepas softlen yang selama ini menemani hari-harinya—membuka tabir yang menutupi diri.
Hebat dan aku begitu bangga. Sofia begitu terlihat cantik dengan kedua warna matanya yang unik, tak lupa senyum yang kini selalu menghiasi menambah kecantikannya hingga berkali-kali lipat. Kalau saja aku ini seorang lelaki, pasti akan kujadikan ia sebagai yang terkasih.
Satu lagi yang membuat hari ini begitu berbeda, pekikan yang selalu menggema dimanapun kakakku berada.
"Kak Gani!"
"Kak Gani boleh minta kontaknya?"
"Kyaaaaa, kak Gani!"
"Kak Gani ganteng banget! Aaaaaaa."
Kakakku tiba-tiba menjadi idola para siswa perempuan. Layaknya ulat yang baru saja keluar dari kepompong dan menjelma sebagai kupu-kupu, Abang menjadi sosok idaman setelah tiga hari yang lalu dianggap tidak ada. Sepanjang perjalanan dari arah parkiran menuju kelas—saat kami berjumpa dengan seorang siswa perempuan—aku dan Sofia otomatis menutup telinga. Astaga tidak main-main memang sampai membuat indera pendengarku terasa sakit.
"Duluan ya kak!" pamit Sofia pada kakakku karena kami sampai lebih dulu di kelas.
Walaupun kemarin aku terlihat begitu berani, sebetulnya aku masih merasa tegang memikirkan bagaimana reaksi teman kelas kami sekarang. Bahkan Sofia saja terus berjalan dibelakangku takut-takut, membiarkanku lebih dulu masuk tidak seperti tadi yang dengan begitu semangat membalas para sapaan yang datang. Wajah-wajah terperangah menyambut kedatangan kami, mungkin karena kembalinya sosok lama Sofia.
Sampai bel istirahat membunyi nyaring, aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Tidak ada perubahan yang signifikan, belum ada yang menyapa kami, mereka tampak begitu segan. Mungkin lebih tepatnya merasa bersalah dengan Sofia?
Anne dan teman satu gengnya pun hanya diam, melirik kami dengan tatapan yang sinis. Masih saja dan tetap tidak mau mengatakan kata maaf. Biar saja toh tidak penting juga.
"Akhirnya aku bisa juga makan dikantin!" Sofia tersenyum senang sambil bertepuk tangan.
Kami sudah membeli semangkuk bakso dan beberapa makanan kecil untuk makan siang kali ini, tidak hanya aku dan Sofia. Kali ini juga bersama kakakku.
"Ngapain ikut kesini, sih?!" tanyaku.
"Gak boleh?"
"Gak, berisik! Annoying banget, tau?"
Abang terkekeh, "Cemburu lo ya, gue terkenal begini?"
Aku mendelik, "Sebel banget. Bang gak enak banget makan sambil diliatin gini, pergi kesana gih pindah meja!"
"Gue mau jaga kalian, takutnya kenapa-napa lagi," jelas Abang.