"Ini kak."
Aku memberikan formulir yang sudah diisi lengkap kepada kak Abi. Sekolah sudah bubar sedari tadi dan keadaannya juga sepi, hanya saja hari ini aku mendapat jadwal piket. Mau tak mau membuat Sofia, kakak, dan kak Abi harus menungguku dulu.
Kertas sudah berpindah tangan, netra lelaki yang lebih tua dariku itu meniliknya dengan pasti. Khawatir ada bagian yang terlewat agar dapat segera dilengkapi. Satu menit berlalu kak Abi telah selesai memeriksanya, dimasukkan kertas itu kedalam tas.
"Baik, terima kasih ya, Ratih. Mau bergabung dengan klub kami."
"Iya kak, seneng juga ternyata disini ada klub yang kebetulan gue suka, juga bakal kenal banyak orang yang sefrekuensi," ucapku senang, " ....kalau gitu gue pulang dulu ya, maaf kak jadi harus nunggu tadi. Mau dititip ke Sofia malah lupa."
"Iya, Ratih."
Aku masuk kedalam mobil dimana kakak dan Sofia sudah menunggu. Kak Abi yang melambaikan tangannya pada kakak, mobil jalan perlahan meninggalkan entitasnya sendiri dalam parkiran.
"Udah sih liatnya, orang udah ngga ada."
"Siapa yang liatin sih?"
"Lo, Ratih. Suka ya sama Abi? Cakepan dia kok sama Dika, sikat aja!"
"Gak denger lagi pake masker."
•••
Hal pertama yang dilakukan adalah mengecek ponselku. Selain notifikasi dari email dan aplikasi berita yang selalu meramaikan, ada dua beberapa pesan yang sudah aku tunggu kedatangannya.
Aku membuka lebih dulu pesan milik sahabatku, berisi permintaan maaf atas keterlambatan menjawab pesan ditambah beberapa curahan hati tentang apa yang ia lakukan selama ini. Beberapa kalimat membuatku begitu merindukan rumah lama. Aku memutuskan untuk menelpon Mery.
Nada sambung telepon terus terdengar, tidak langsung di angkat. Hingga nada ke delapan barulah Mery menerimanya.
"Meryyyyyyyyy!"
'Eum, Ratih teleponnya nanti aja ya?'
"Kenapa? Lo gak kangen gue?"
'Kangen, tapi nanti kalau gue udah balik ke rumah.'
"Lo lagi diluar, ya?" tanyaku karena terdengar ramai suara kendaraan di sekitarnya.
'Iya, bye?'
Aku mendengar suara seseorang yang bertanya kepada Mery yang jelas bahwa itu adalah seorang lelaki—dari betapa beratnya suara itu.
"Wah, lagi ngedate ya? Mery akhirnya lo punya pacar juga?" tanyaku karena tahu jam-jam ini sudah jauh dari waktu sekolah berakhir.
'Bye, Ratih!'
Aku terkekeh mendengarnya yang terburu mematikan panggilan.
Sekarang beralih ke pesan kekasihku, Dika. Sebagian isi pesannya sama, ya karena memang apa yang aku tanyakan tidak jauh berbeda. Kutengok waktu masih menunjukan pukul empat, masih ada waktu untuk bersantai sebelum membersihkan diri nanti. Lagi, aku berinisiatif untuk meneleponnya.
Tidak seperti Mery, Dika langsung mengangkat telponnya, "Dika?" tanyaku.