"Aku pulang lebih dulu boleh?" tanya Sofia.
Aku yang sedang memasukan buku-buku kedalam tas terheran, "Kenapa? Ngga ikut gue sama Abang?"
"Bukannya kak Gani ngga masuk hari ini, ya?"
"Lho, tadi 'kan berangkat bareng kita?"
"Ijin bilangnya."
"Bolos lebih tepatnya, Sof. Dasar mulai lagi!"
Saat keluar kelas ternyata sudah ada kak Abi yang menunggu kami—lebih tepatnya aku. Atas kesempatan itu Sofia langsung pergi dengan cepat meninggalkan kami, entah apa yang mau ia kerjakan hingga harus terburu-buru seperti itu. Aku hendak bertanya tentang ada perlu apa pada kak Abi, tapi ia memintaku untuk menyisi ketempat yang lebih nyaman sebab koridor begitu dipenuhi anak yang berjalan pulang.
"Itu..." katanya memulai.
"Itu?"
"Saya mau kasih tau kamu soal jadwal kumpul besok."
"Oh, iya besok hari Minggu, ya. Pantas aja Abang bolos!"
"Jadi Gani bolos bukan tidak masuk karena sakit?"
Aku tertawa, "Bukan. Alasannya ngga pernah berubah. Kalau memang betulan sakit, pasti gue udah kasih surat dokternya, kak."
"Iya juga," setuju kak Abi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal—membuatku tertawa lagi.
"Iya, kak."
"Sekarang pulang sendiri, tadi Sofia pergi duluan 'kan?"
Aku mengangguk.
"Saya antar."
Aku mengibas-ngibaskan telapak tanganku ke udara, menolak tawaran kakak kelasku itu untuk mengantar. Bukan apa, tapi aku masih memikirkan alasan ia terus saja kepergok menatapku. Aku tidak risih hanya saja seandainya itu karena ia menyukaiku bukannya harus dihentikan?
"Ngga apa-apa gue pulang naik wrapjek aja, kak," jelasku.
"Sekalian saja, jalannya juga searah."
"Ngga apa-apa kok, sendiri aja!"
"Maaf kesannya memaksa, tapi daripada harus mengeluarkan uang bukannya lebih baik dengan saya saja?"
"Hm, gue lebih suka ngeluarin uang sih dibanding harus repotin orang."
Tak menyerah kak Abi terus saja ingin mengantarku pulang. Pandangan siswa lain yang melihatku dengannya sudah tak terelakan, bisik-bisik jelas terlihat. Akhirnya aku menyerah dan menerima tawarannya.
"Oh iya, Ratih. Saya sekalian ingin meminta nomor teleponmu," ucap kak Abi begitu kami sudah tepat berada didepan motornya.
"Bukannya sudah saya isi lengkap ya formulirnya? Disana juga ada nomor telepon 'kan?"
Kak Abi menjadi kikuk sebab tersadar akan sesuatu, walau belum menjawabku tangannya langsung meraih helm yang sudah tersedia dua disana. Tanpa aba-aba dipakaikannya helm itu kepadaku, aku jelas kaget sekali hingga tidak bisa protes.
Didepanku dengan jelas terpampang bagaimana wajah tegas milik kak Abi. Dalam jarak ini nampak beberapa rambut halus yang tumbuh diatas bibir dan dagunya, bergerak perlahan atas terpaan napas entah miliknya atau milikku. Hidungnya yang bangir hampir saja menyentuh wajahku. Ini terlalu dekat!
Aku mendorong kak Abi menjauh segera setelah terdengar bunyi klik tanda helm terpasang, "Astaga maaf, Ratih," ucapnya selepas menjauh dariku sebanyak dua langkah.
"Ma—makasih ya, kak," ucapku terbata. Aku langsung menutup bagian kaca helm karena dapat dipastikan wajahku memerah sekarang. Jantungku juga berdebar tidak karuan, astaga apa ini.
Kak Abi langsung memasang pelindung kepala itu untuk dirinya sendiri, lalu menaiki motor disusul olehku. Dan langsung pergi saat itu juga tanpa sepatah katapun terucap, kami tenggelam oleh rasa canggung yang mendalam.