Baik. Ini mulai sangat keterlaluan dan aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Meja kami dipenuhi dengan oli bekas, bercecer hingga ke lantai—masih untung tidak dengan kursinya. Anne memang keras kepala sekali.
Kemarin juga kami terlibat perkelahian sebab dengan sengaja ia menarik rambutku saat lewat, lalu kami saling menjenggut surai dan menjadi tontonan anak kelas yang sama sekali tidak ada niatan untuk memisahkan. Namun aku memenangkannya setelah berhasil memiting leher Anne hingga ia tidak bisa berkutik. Mungkin hari ini adalah pembalasan dendamnya yang tak terima atas kekalahan.
Kini Anne sedang cekikikan bersama rekannya melihat aku yang begitu kesal. Baik, kalian aku berikan waktu untuk senang sebentar.
"Pinjem tasnya, ya!" ucapku riang.
Aku ambil tas Anne yang tergeletak diatas meja begitu saja, tak peduli teriakan dari mulut siluman ular real itu. Tasnya yang bermerk dengan harga mahal kujadikan lap untuk membersihkan meja.
"HEH! Lu apain tas gua?!"
Aku melanjutkan kegiatanku sambil sedikit berdendang.
"Ratih!"
"Apa, Anne? Masih pagi kok udah teriak-teriak aja?" tanyaku.
"Dasar gila!"
"Aduh gak denger lagi pakai helm."
Suara langkah terburu masuk inderaku, terus mendekati diri yang masih sibuk memanfaatkan bahan tas yang bisa menyerap oli. Sesuai dengan harga dan sangat berguna.
Aku terkekeh kala Anne mengambil paksa miliknya, wajahnya merah padam berjarak satu jengkal denganku, "Lu harus ganti rugi!" tuntut Anne.
"Kok?"
"Lu ngerusak tas gua, sialan!"
"Katanya orang kaya, ya tinggal beli lagi. Masa ngemis ke hamba yang tidak punya banyak harta, sih?"
Anne betulan marah saat ini, aku senang. Tangannya sudah siap terangkat hendak menamparku, tentunya tidak akan kuberikan kesempatan, hehe. Saat berhasil menepis aku tidak melewatkan untuk menjegal kakinya hingga ia jatuh tersungkur. Lagi-lagi aku terkekeh menang. Memang paling mudah melawan musuh saat ia murka.
Anne mengaduh kesakitan, "RATIH!"
"Adalah saya, ada apakah gerangan memanggil saya?"
"Berenti main-main sama gua, Ratih. Karena lu akan tau akibatnya nanti!" ancamnya—walau aku tidak akan takut dengan ancaman orang yang terduduk malu sambil meringis kesakitan seperti keadaannya sekarang. Mengenaskan.
"Anne. Dan lo semua.... " aku menunjuk ketiga orang anggota anak sultan lainnya, "...yang harusnya stop main-main sama gue. Ini cuma baru pemanasan, gue diam selama ini bukan karena takut maupun males ngeladenin kelakuan kalian yang luar biasa gak ada bosennya ini. Cap cuma bisa bersembunyi dibalik kakak, kak Abi, dan kakak kelas lainnya itu salah besar."
Aku berjongkok didepan Anne, "Gue sendiri juga bisa habisin kalian. Kalau mau tau gue tantang buat terus lanjutin kelakuan bullying mental sekolah dasar lo ini, and we'll see, Anne."
"Gila!"
Anne beranjak bangun dan segera pergi keluar kelas yang disusul oleh anak buahnya. Tepat di pintu kelas ia tak sengaja menabrak Sofia yang kebingungan.
Aku bangun lalu menepuk-nepuk blazer seragamku agar terlihat rapih. Sofia yang baru tiba sebab sebelumnya sarapan dulu dikantin menghampiriku dengan khawatir. Ia sibuk mengecek keadaanku, diputarnya tubuhku ke kanan dan kiri sambil matanya terbuka lebar untuk memperhatikan baik-baik. Tak lama, ia mengetahui keadaan meja kami yang kotor.
"Ratih, ada apa dengan meja kita?" tanya Sofia.
"Sofi, pindah dulu ketempat lain. Aku mau pergi ke UKS dulu, ya."