"Ratih, menikah dengan saya setelah lulus, ya?"
What the...
Aku hanya bisa menganga.
Kepalaku kembali pening, sangat tidak masuk akal aku mendapatkan sebuah lamaran dari seseorang, yang bahkan baru genap sepuluh hari aku sekolah disini.
"Kita masih sekolah lho, kak."
"Maaf, bukannya tadi saya bilang setelah kita berdua lulus?"
"Ya, ta—tapi 'kan."
Kak Abi memalingkan pandangan, inderanya menatap cerah langit yang menyelimuti kami. Sementara aku bingung sendiri, memikirkan apa yang harus aku katakan kini.
Masih terus memandang ke awan yang perlahan bergerak kak Abi melanjutkan, "Maaf, saya bukan ahli dalam soal perasaan. Ini adalah hal pertama untuk saya hingga bisa mencintai seseorang, yang saya tahu hanya ingin kamu ada terus bersama saya."
"Kak jangan terburu dalam soal rasa, coba pikir lagi. Barangkali lo salah mengarti yang hanya sekedar nyaman malah dikatakan cinta?"
"Walau pertama, bukan berarti saya bodoh untuk mengartikan."
"Ngga gitu, lo harus bener bisa masti—" belum sempat aku melanjutkan kak Abi sudah memotong lebih dulu.
Netranya kini menatapku dengan lekat, mereka menjadi sendu dan layu, "Jadi saya di tolak?"
"Maaf kak, tapi sekarang gue punya pacar."
•••
"Bang kalau gue nikah cepet, setelah lulus boleh, ngga?" tanyaku.
Kami sedang berada diruang televisi, bermain game console dengan banyak camilan berserakan. Ini merupakan bentuk pengalihan dari kakak, selalu membuatku sibuk agar tidak bermain ponsel hingga melanggar apa yang ia perintahkan. Egois.
"Gue bilang buat berhenti hubungan sama bocah tengik itu 'kan?!"
Lagi. Terus seperti itu tanpa mau menjelaskan apa yang ia maksud.
Walau sudah paham aku berpura tidak tahu, "Siapa lo maksud? Dika?"
"Jangan sebut namanya! Haram!"
Aku melempar controller game dengan kasar, persetan dengan kekalahan dan hukuman yang harus diemban nanti, "Emang kalau dia kenapa sih?!"