Prolog

Gistia Rengganis
Chapter #1

Rencana Abang Rebel

Pintu di tutup dengan keras hingga terdengar bunyi gebrakan yang menggema ke seluruh rumah. Pelakunya adalah Abang—menambah keruh suasana saja. 

"Bun, biarin aja."

"Kalau kamu setuju 'kan?" tanya Bunda. 

"Mana ada!"

Bunda terdiam. Matanya berkaca-kaca membuat hatiku sedikit tercubit. Tapi aku ingin egois kali ini saja. "Gak mau, Bun."

"Tapi kita harus, Ratih."

"Aku marah sama Bunda," ucapku lalu pergi begitu saja—tanpa peduli panggilan Bunda yang terus terdengar, berkali-kali. 

Kaki dihentak keras sepanjang menaiki tangga berbahan kayu menimbulkan bunyi bedebam. Melampiaskan amarah walau yang tidak bersalah menjadi korban. Sekaligus membuktikan bahwa aku benar-benar marah saat itu—tanpa peduli isakan yang tetap terdengar walau aku sudah masuk ke dalam kamar. 

Tembok sebagai penghalang tidak mampu untuk menutupi amarah Abang yang berada di kamar sebelah. Sayup-sayup terdengar ia sedang berbincang, mungkin dengan temannya melalui panggilan. Umpatan kasar juga terdengar, rasanya ingin kupukul dia punya kepala. 

Walau sedang marah juga, tetap khawatir Bunda akan dengar maka aku bergegas menghampiri Abang. Saat membuka pintu kulihat ia sedang menelpon menghadap jendela, terduduk diatas kasurnya. Bertelanjang dada karena baju yang tadi dipakainya tergeletak tak berdaya di bawah. 

Semerbak aroma musk menusuk hidung. Wangi khas Abang, yang walau ia baru masuk gerbang sepulang sekolah sudah bisa tercium sampai dapur yang jaraknya puluhan meter. Hidungku yang terlalu sensitif atau Abang yang memakainya terlalu banyak—aku tak paham. 

"Aduh!" keluh Abang saat telapak tangan berhasil menepak kepala bagian belakang. 

Aku terbahak. 

"Dek, apa-apaan?"

"Berisik, punya lambe itu dijaga. Pencemaran!"

Terdengar Abang pamit dengan lawan bicara, ponselnya dilempar begitu saja ke kasur. Cih, dalam hati aku mengumpat. 

"Banyak duit ya, lempar-lempar," ujarku. 

"Nyalain kipas, gerah," jawabnya—Jaka Sembung bawa golok. 

Tidak mengindahkan apa yang ia suruh aku malah berbaring tanpa minta ijin pada sang pemilik. Satu cubitan mendarat di perutku dan membalas tendangan pada kaki. Perihal menyalakan kipas saja harus ribut. 

Akhirnya karena tak tahan Abang sendiri yang menyalakan kipas. Kenapa tidak dari awal saja?

"Gue punya rencana," ucap Abang—serius sekali tampangnya. 

"Buat?"

Lihat selengkapnya