Hari kepindahan sudah ditentukan. Beberapa perabotan di rumah pun sudah ada yang diangkut pergi ke tempat baru. Tak peduli pada Abang yang sibuk mengeluh lebih dari seminggu, membuat polusi suara yang tak henti walau tak diladeni. Bunda tetap kukuh pada pendiriannya. Setelah mendengar kabar mengejutkan tentang pindahan yang harus dilakukan dalam waktu dekat, membuat waktu libur akhir semester ini terasa begitu berat.
Ocehan abang makin berisik kala beberapa lemari serta ranjang, tidak lupa meja makan sebagai perabot berukuran besar yang dapat giliran terakhir, telah dibawa oleh orang jasa pindahan. Menyisakan sebuah kasur lipat yang biasa digunakan jikalau ada sanak saudara menginap dan beberapa buah bantal. Ditaruh tepat ditengah ruang keluarga yang sudah kosong, hanya dilapisi karpet tipis agar tidak menempel langsung dengan lantai.
“Malam ini kita tidur bertiga! Ngga usah pakai selimut, kita tidur berpelukan!” riang Bunda.
Malam terakhir dijadikan acara lepas kangen oleh Bunda. Sudah lama katanya tidak tidur dengan anak-anak yang sekarang sudah beranjak remaja. Rindu saling memeluk melawan dinginnya malam, sesekali menghempas pergi nyamuk yang datang tanpa diundang.
“Gak mau, Abang tidur dibawah aja.”
Bunda terkekeh melihat Abang yang sok jual mahal, “Mana bisa? Emang tahan sama dinginnya?”
“Bohong tuh, Bun. Pasti baru semenit udah naik ke kasur lagi,” Ujarku menimpali.
Abang yang mendengar ejekanku langsung melemparkan sebuah bantal yang tergeletak didekatnya. Aku yang tak terima tentu saja membalas. Apalagi Bunda yang tidak menahan diri hanya untuk melihat saja, sudah ikut membantuku melempari Abang. Dua lawan satu, pastinya akan menang.
Melihat Abang merajuk dan pergi ke arah kamar mandi—mungkin menahan malu—aku dan Bunda sebisa mungkin menahan tawa yang akan meledak. Lalu telapak tangan saling beradu untuk merayakan kemenangan.
“Dek, mau bobok sama Bunda ‘kan?” tanyanya.
“Mau gak ya?”
"Uang jajan gak turun ya, 'kan libur sekolah."
"Lho! Mau Bun, mau tidur sama Bunda kok."
Melempar buku yang sedang kubaca asal, lalu memunguti bantal yang tercecer berkat lemparan. Kuserahkan kepada Bunda yang dengan telaten merapihkan alas tidur agar lebih nyaman. Setelah selesai kami pun rebahan di atasnya.
“Ngga apa-apa ‘kan pindah?” tanya Bunda.
“Ngga mau, Bun. Aku udah bilang itu berkali-kali tau?”
“Kenapa emangnya?”
“Males ajak kenalan lagi ke orang. Terus gimana kalau temennya pada jahat, mana aku ngga bisa bahasa daerahnya lagi.”
Tangan Bunda terangkat mengusap rambutku dengan lembut, “Maaf ya, habis kantor Bunda juga mindahinnya dadakan. Bunda bisa apa. Kalau Bunda nolak kalian puasa.”
“Iya-iya, tapi tau ngga Bun? Abang tuh yang waktu itu rencanain aku buat kabur aja dari rumah.”
“Oh gitu, cepu ya lo. Padahal udah gue traktir bakso dikantin.”