Prolog

Gistia Rengganis
Chapter #3

Kata Abang Serem

"Makan dulu, nak."

Perintah Bunda harus segera dilaksanakan. Makan malam pertama dirumah baru setelah seharian mengecat bagian luar rumah yang lumayan luas. Bagian dalam rumah sudah beres saat kami datang, sudah siap untuk ditinggali. Begitu pula kamarku yang sudah tersusun rapih walaupun masih belum sesuai dengan apa yang aku inginkan penataannya—setidaknya bisa untuk ditiduri malam ini. 

"Besok kalian ke sekolah sendiri ya, untuk mengambil seragam. Bunda sudah harus pergi bekerja."

Tidak ada jawaban karena kami berdua masih terlalu lelah untuk menerima kenyataan. Setelah itu tidak ada lagi percakapan, masing-masing sibuk memasukan makanan kedalam suapan. Sibuk mengisi perut yang kelaparan. Abang pergi lebih dahulu kedalam kamar tanpa ada niat membantuku dan Bunda untuk membereskan bekas makanan. 

Walau dari luar terlihat menyeramkan--tadi--ternyata rumah inj sangat bagus sekali. Furnitur yang ada sesuai dengan kesukaan Bunda yang berbahan kayu, sekaligus menyesuaikan milik kami sebelumnya. Dengan dua lantai tapi tidak terlalu besar, malah lebih kecil dari rumah kami sebelumnya. Tapi terasa hangat. 

"Bun, aku ke kamar ya," pintaku setelah berhasil mencuci semua piring kotor. 

"Iya, selamat malam, nak. Jangan tidur terlalu larut, besok kamu dan Abang harus ke sekolah pagi-pagi."

"Hm, iya."

Semua kamar terletak di lantai dua dan berjajar. Lagi-lagi kamarku tepat disamping kamar Abang—ditandai dengan bedanya warna daun pintu. Aku langsung merebahkan diri di kasur, sambil membuka ponsel takut-takut ada pesan masuk. Tapi Dika dan Mery belum membalas pesanku sebelumnya. Ya, kemungkinan pesan masuk hanya dari mereka saja. Karena aku tidak memberikan kontak ke semua orang. 

Pikiranku melayang, bagaimana nanti aku harus bersikap disekolah baruku. Bagaimana caraku mencari teman baru. Bagaimana jika tidak ada yang mau berteman denganku. Aku bukan orang yang mudah bersosialisasi. Tidak seperti Abang yang punya teman disana-sini. 

Tapi—ya sudahlah aku tidak mau terlalu terbebani dengan ini. Biarkan saja berjalan seperti air. Aku bisa sampai disini sudah berkat takdir. Aku yakin Dia telah mengatur semuanya sesuai dengan porsiku dan semua kecemasan ini akan segera berakhir. 

•••

Aku digiring ke sebuah ruangan dimana banyak meja-meja yang tersusun rapih. Bukan kelas, lebih tepatnya ruang guru. Setelah memperkenalkan diri kepada wali kelasku nanti, aku diminta untuk duduk menunggu selagi ia mengambil seragam yang akan aku kenakan. Abang sendiri berpencar denganku entah dibawa kemana. 

Sekolah masih libur sampai lusa. Untung saja jadi aku bisa menyiapkan keperluan sekolah terlebih dahulu. 

Aku masih duduk menunggu, tidak sendiri karena masih banyak guru yang lain juga beberapa anak murid--yang sepertinya ikut organisasi--berkumpul disini. Beberapa mereka melirik ke arahku lalu saling berbisik. Aku bisa mendengar dengan jelas, hanya saja bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa daerah. 

Aku hanya mampu tertunduk pura-pura sibuk menggunakan ponsel, padahal aku hanya membuka layar home lalu dengan random mengklik apa saja.

Lihat selengkapnya