"Jujur sama gue, sekarang!"
Kesal. Berhasil menarik Sofia untuk bicara tidak semena-mena membuatnya menjelaskan semuanya. Tiga hari ia tidak masuk sekolah yang mengharuskan aku terus menggunakan earphone agar tidak mendengarkan ledekan anak kelas. Setidaknya Sofia harus bertanggung jawab dengan menceritakan kenapa sampai begini.
"Lo gak bisa diem aja, Sofia!" bentakku.
Taman belakang sekolah sangat sepi karena lokasinya dekat dengan gudang dan tempat sampah yang sangat tidak nyaman untuk dijadikan tempat singgah. Suaraku jadi menggema ke seluruh sudut taman. Image baik yang kubangun hilang semua sekarang.
Sofia yang sedari tadi hanya menunduk dalam diam akhirnya bicara, "Maaf."
"Nope. Gue gak minta pernyataan maaf lo, gue minta lo jelasin semuanya sekarang!"
"Aku bukan siluman."
"Iya gue tau itu, hal lain?"
Sofia bergerak merogoh kantung jasnya, kulihat sebuah bungkus tissue basah berhasil didapat, itu digunakan untuk membersihkan tangannya. Aku masih setia menunggu walau sangat tidak sabar karena lamban sekali. Lalu Sofia mengambil sesuatu dari matanya—ternyata ia menggunakan soft lens.
"O-odd eye?" tanyaku terbata melihat manik Sofia yang berbeda warna.
Sofia tersenyum, "Hum. Warna mataku berbeda satu dengan yang lainnya—bawaan lahir. Tapi tenang ini bukan penyakit kok, hanya saja aku sudah ditakdirkan untuk mempunyai dua warna mata. Ibu bilang ini adalah anugerah. Tapi tidak dengan orang lain disekitar kami. Orang lain menganggapku dikutuk dan yang paling parah adalah aku seorang siluman. Bukan karena mereka tidak tahu ilmu atau informasi lain tentang kedua mataku. Itu hanya karena mereka terlalu benci saja pada kami. Membuat banyak berita palsu agar orang lain yang baru mengenal kami juga ikut memusuhi.
Ibu bukan orang yang berpendidikan, sekolah hanya bisa sampai dasar saja. Tidak melanjut karena faktor ekonomi keluarga. Kala itu ditawari pekerjaan dengan gaji yang lumayan, Ibu langsung mengangguk setuju. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga bangsa asing. Bahagia sekali karena bisa membantu orang tua dengan tenaga sendiri walau dengan minimnya pendidikan."
Wajah Sofia sangat berseri saat bercerita, membuat semburat merah menjalar disekitar pipinya, "Bertahun lamanya mengabdi pada sang tuan, cukup menghasilkan. Ditambah nyonya besar sangat baik dan sangat mempercayai Ibu berkat kualitas kerjanya yang bagus. Tapi semuanya berakhir saat Ibu hamil diriku."
"Karena Ibumu mengidam jadi sulit bekerja? Memangnya ayahmu kemana kok istrinya sedang hamil malah suruh bekerja terus?"
Aku merasa bersalah setelah melihat perubahan mimik pada Sofia. Ia terlihat begitu sedih mendengar pertanyaanku. Baru saja aku akan meminta maaf tapi kata itu tertahan ditenggorokan saat Sofia menyela.
"Ayahku adalah suami nyonya besar."
•••
"Ratih?"
Aku menaruh buku yang sedang kubaca lalu melihat ke arah sang pemanggil, "Oh, kak?"
"Habis membeli buku?" tanyanya.
"Iya, sekalian numpang baca disini."
Abi ikut duduk disebelahku, sekarang kami berada disebuah toko buku yang ada pada pusat perbelanjaan. Sepulang sekolah Abang mengabariku untuk pulang sendiri karena ia akan pergi—entah kemana. Daripada pulang aku hanya sendiri dirumah, setelah memesan ojek online aku memutuskan untuk pergi ke toko buku. Malah bertemu dengan Abi disini.